Tuesday, 27 August 2019

Kanon Perjanjian Baru

KANON PERJANJIAN BARU

3.1. Pengertian Kanon
Tujuan penulisan kitab-kitab Perjanjian Baru telah tercapai kira-kira pada akhir abad pertama. Ada kemungkinan bahwa seluruh kitab-kitab Perjanjian Baru dikenal atau dibaca oleh orang-orang Kristen, bahkan mungkin oleh jemaat mula-mula. Sementara kitab-kitab tersebut mulai diedarkan kepada seluruh jemaat yang tersebar di Yerusalem, daerah sekitar bahkan ke Roma, muncul kitab-kitab Apokrifa.
Apokrifa adalah injil lain atau tulisan lain yang bertujuan memberikan data-data tentang kehidupan Tuhan Yesus yang tidak terekam oleh keempat Injil. Kitab-kitab apokrifa ditulis setelah keempat Injil namun diragukan kebenarannya karena banyak terdapat dongeng atau hayalan.
Dengan demikian akan muncul pertanyaan di dalam pikiran kita:
1. Kriteria apakah yang dapat dipakai untuk menentukan kitab Injil yang asli/kitab-kitab yang beredar saat ini dengan kitab-kitab apokrifa?
2. Mengapa sebagian kitab diterima sedangkan kitab-kitab yang lainnya ditolak (disebut apokrif)?
3. Berdasarkan prinsip apa keempat Injil, Kisah Para Rasul, Surat-surat lainnya dan Wahyu diterima sebagai Perjanjian Baru sedangkan kitab-kitab lainnya yang hampir sejaman tidak diterima?

Kriteria penyusunan dan pemilahan bahan adalah melalui proses kanonisasi Alkitab. Kanon berasal dari bahasa Yunani yang artinya sebatang ilalang/tongkat/balok kayu yang berfungsi sebagai alat pengukur. Kemudian kata ini dipahami sebagai suatu standard.
Dilihat dari tata bahasanya berarti suatu aturan/prosedur. Dilihat dari kronologinya berarti sebuah daftar waktu. Dilihat dari sasteranya berarti sejumlah karangan yang secara sah dinyatakan sebagai hasil karya seorang pengarang.
Kanon sastra penting artinya karena pikiran/ide seorang pengarang dapat dikenal melalui tulisan/karyanya yang asli. Karangan palsu yang terselip diantaranya dapat menjadi ancaman yang akan membelokkkan/mengaburkan/mengacaukan prinsip-prinsip yang hendak disampaikan oleh penulis. Untuk menyusun kanon Perjanjian Baru, maka unsur keaslian pikiran penulis sangat diperhatikan untuk menentukan standard hidup dan iman Kristen yang pasti.





3.2. Kriteria Kanonisasi Alkitab
3.2.1. Ilham
Segala tulisan yang diilhamkan oleh Allah disebut Firman Allah. Kitab suci adalah Firman Allah yang tertulis dan memiliki otoritas (2 Tim 3-16-17). Dengan demikian segala tulisan yang tidak diilhamkan Allah bukan Firman Allah.
Cara untuk mengetahui bahwa tulisan di dalam Perjanjian Baru diilhamkan oleh Allah dapat dilihat dari: isinya, pengaruh moralnya, kesaksian gereja mula-mula. Ketiga hal ini dapat mengarah kepada satu pokok pikiran yang sama yaitu YESUS.
Injil berisi tentang riwayat hidup dan pelayanan Yesus, Kisah Para Rasul adalah pengaruh dari pelayanan Yesus di dalam diri murid-murid dan orang-orang yang menerima Injil, Surat-surat Paulus dan Surat Kiriman lainnya berisi ajaran teologis dan praktis yang bersumber pada penghayatan diri Yesus, dan Wahyu menubuatkan hubungan Yesus dengan masa depan.

3.2.2. Kesaksian Internal
Penulis Perjanjian Baru seringkali menekankan bahwa apa yang ditulisnya adalah Firman Allah (1 Tes 4:15; 1 Kor 7:10,25). Penulis Perjanjian Baru juga sering mengutip Perjanjian Lama yang diakui sebagai Firman Allah (KPR 28:25-27; 2 Tim 3:15; 2 Pet 1:20-21; Ibr 8:8). Penulis Perjanjian Baru mengakui bahwa mereka adalah utusan Tuhan (Gal 1,1,12), sehingga berita yang disampaikan dapat diterima sebagai Firman Allah oleh pendengarnya (1 Tes 2:13). Bahkan penulis mengatakan dengan tegas, “terkutuklah Injil yang tidak sesuai dengan Firman Allah (Gal 1:6-9; 2 Tes 3:14). Surat-surat Paulus segera dapat diterima dan diakui oleh gereja (ini merupakan awal dari gerakan munculnya suatu kanon), ketika surat-surat tersebut mulai disejajarkan dengan surat-surat lainnya (2 Pet 3:15-16).

3.2.3. Kesaksian Eksternal
Perbedaan kitab-kitab yang kanonik dan non kanonik adalah hasil dari kesadaran rohani yang terus berkembang. Karena pada awalnya gereja tidak menentukan kanon, tetapi mereka mengenali kanon.
Kesaksian terhadap keberadaan kanon Perjanjian Baru ada tiga hal yaitu:
1) Kesaksian Tidak Resmi
Beberapa penulis Perjanjian Baru pernah mengutip baik secara langsung atau tidak langsung beberapa bagian kitab-kitab Perjanjian Baru lainnya. Kutipan-kutipan itu justru telah menjadi bukti nyata akan keberadaan dan kuasa dari kitab-kitab tersebut.



Contoh orang-orang (bapa-bapa gereja) yang pernah mengutip Perjanjian Baru:
Klemens (doktrin tertua yang ditemukan kira-kira th.95 M): Codex Aleksandrianus. Ditulis di kota Roma, dialamatkan kepada gereja Korintus. Kitab yang dikutipnya diambil dari: Ibrani, 1 Korintus, Roma dan Matius.
Ignatius dari Siria (116 M), ia menyatakan mengenal semua surat Paulus dan mengutip Matius. Dalam pernyataan isinya ia mengatakan: “selain kitab-kitab Perjanjian Lama, Firman Allah (yaitu Perjanjian Baru) memiliki kuasa.”
Yustinus Martir (100-165 M), berasal dari Yunani Siria, seorang bekas ahli filsafat menyinggung akan adanya keempat Injil, KPR dan beberapa surat Paulus. Ia mengatakan bahwa ‘kenangan para rasul’ yang disebut Injil dibaca setiap hari Minggu di dalam kebaktian di gereja bersama-sama kitab Perjanjian Lama. Berdasarkan pernyataan ini dapat kita simpulkan bahwa selain Perjanjian Lama, ada norma baru yang mulai muncul (yaitu kanon Perjanjian Baru) dalam bentuk pembacaan kitab suci dalam gereja mula-mula.
Ireneus hingga mencapai puncaknya th.170 M; telah dicapai suatu kesepakatan yang bulat bahwa kitab-kitab suci Perjanjian Baru memiliki kuasa. Gnostisisme dan ajaran sesat lainnya yang juga ikut berkembang seiring perkembangan kanon Perjanjian Baru menjadi sebab membanjirnya tulisan-tulisan pembelaan terhadap Injil yang disebut apologet yang terus berlangsung hingga zaman Origenes (250 M).
Tertulianus dari Kartago (200 M) mengatakan: tujuan mereka mengutip beberapa bagian dari Perjanjian Baru bukan sekedar sebagai gambaran/ilustrasi, tetapi sebagai bukti adanya kebenaran dan mengakuinya berlakunya bagi gereja. Dokumen lengkap dari kedua perjanjian itu yang dimaksudkan adalah Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru.

2) Daftar Resmi/Kanon
Daftar kitab-kitab Perjanjian Baru yang dikenal/diterima oleh setiap gereja atau pemimpin umat, dapat dilihat dari kutipan-kutipan dan pernyataan-pernyataan yang terdapat dalam tulisan bapa-bapa gereja yang pertama.
Untuk mengantisipasi pertanyaan tentang keabsahan karangan penulis Perjanjian Baru yang terus bermunculan, Dewan Gereja telah membuat/menyusun sebuah daftar kanon yang telah diseleksi dan diuji kebenarannya sebagai Firman Allah yang memiliki kuasa.
Tetapi daftar ini tidak resmi/tidak mutlak kebenarannya karena dalam penyusunannya seringkali lebih dipengaruhi oleh selera/pandangan pribadi, kebiasaan umum, standard/kanon wilayah setempat, gereja atau pandangan perseorangan.
Contohnya: kanon pertama yang secara sadar dianut, banyak pengikutnya, kanon marcion (140 M).
Marcion adalah anak seorang uskup di Sinope di daerah Pontus. Ia seorang yang anti Yahudi, ia berusaha menanggalkan seluruh kitab Perjanjian Lama yang dianggapnya memiliki pengaruh Yahudi yang sangat kental, dan menetapkan suatu kanon Perjanjian Baru yang benar-benar bersih dari pengaruh Yahudi.
Ia menetapkan Injil Lukas sebagai Injil (dasar pengajarannya), walaupun ia tetap menolak dua pasal pertama dan Injil Lukas yang membahas tentang anak dara yang akan melahirkan Mesias, memakai 10 surat Paulus (Galatia, 1 & 2 Korintus, 1 & 2 Tesalonika, Efesus, Kolose, Filipi, Filemon), tidak menolak surat-surat penggembalaan dan kitab Ibrani.
Kanon Marcion ini kemudian menimbulkan reaksi yang hebat di dalam gereja karena ia telah menolak keabsahan kitab-kitab tertentu, sedangkan kitab-kitab lain yang ditolaknya telah dianggap sebagai kitab yang memiliki kuasa pada zamannya. Hal ini menyebabkan ajaran-ajaran sesat melancarkan serangannya terhadap kanon Perjanjian Baru. Ireneus dan Tertulianus menulis lima kitab untuk menyanggah pandangan Marcion.
Penolakan bapa-bapa gereja terhadap pandangan Marcion ini adalah: Marcion dianggap sewenang-wenang karena buku-buku yang diakuinya pasti merupakan kitab-kitab yang telah diterima keotentikannya. Buku-buku yang ditolaknya telah diterima sebagai kanonik oleh masyarakat luas.

3) Konsili
Pembicaraan resmi tentang kanon oleh utusan gereja dalam suatu dewan resmi (konsili) terjadi pada akhir abad ke-4. Konsili I – Konsili Laodikia (363) bukan merupakan sidang/kongres gereja-gereja yang lengkap karena hanya diwakili oleh sebagian besar wilayah Frigia. Isi ketetapan ke-59 dikonsili ini adalah: kitab-kitab kanonik Perjanjian Baru saja yang boleh dibacakan dalam kebaktian-kebaktian di gereja.
Isi ketetapan ke-60 berisi daftar kanon Perjanjian Baru yang pasti (Matius s/d Wahyu) Konsili III – Konsili Kartago (397) dan Konsili IV – Konsili Hippo (419), memutuskan hal yang sama dengan Konsili Laodikia yaitu menetapkan daftar ke-27 kitab Perjanjian Baru.


3.3. Kesimpulan
Sepanjang keempat abad pertama dari kekristenan, gereja-gereja mula-mula di wilayah timur dan barat belum menerima secara lengkap ke-27 kitab-kitab Perjanjian Baru. Ke-27 kitab Perjanjian Baru tidak pernah diterima secara paksa oleh gereja-gereja mula-mula. Gagasan untuk mengkanonkan kitab Perjanjian Baru, baru muncul pada abad ke-4, namun demikian kitab-kitab tersebut sebelumnya sudah diterima sebagai kitab suci gereja-gereja mula-mula.
Kanon Perjanjian Baru yang sekarang ini merupakan hasil dari suatu kumpulan tradisi lisan dan tulisan serta berdasarkan pertimbangan yang luas dan mendapatkan pengakuan gereja karena keaslian dan daya gerak yang menyertainya.
Dua faktor penting yang menjadi penentu/standard pemilihan kanon Perjanjian Baru adalah: 1) dikarang oleh sekelompok rasul; 2) isi karangan ditujukan  kepada gereja dan merupakan satu kesatuan.
Berdasarkan pengamatan, ada tiga tahap pembentukan kanon Perjanjian Baru yaitu: 1) tulisan-tulisan pengarang kitab Perjanjian Baru yang dikutip secara tersendiri oleh para pengarang (bapa-bapa gereja) dimaksudkan untuk menitikberatkan nilai kesaksian mereka; 2) usaha bapa-bapa gereja (Ireneus & Origenes) terlibat dalam perdebatan semata-mata adalah untuk membela kebenaran/keabsahan Injil itu sendiri dan bukan untuk memperoleh dukungan gereja tertentu; 3) keputusan untuk malakukan konsili, berdasarkan pertimbangan/pandangan pemimpin sebelumnya dan menetapkan suatu pemisahan resmi antara tulisan kanonika dari apokrifa.
Kanon Perjanjian Baru tidak dibuat berdasarkan penilaian yang sewenang-wenang atau dihasilkan oleh sebuah konsili melainkan bukti nyata dari adanya unsur keharmonisan dan ilham Roh Kudus.

No comments:

Post a Comment