Latar
Belakang Kitab Wahyu
Penulisan Surat
Mempelajari penulisan Kitab Wahyu selalu ada persoalan yang sering kali
muncul. Persoalan ini biasanya berkaitan
dengan siapa penulis dan kapan ditulisnya kitab ini.
Siapa penulisnya? Banyak para ahli meragukan bahwa Yohanes anak Zebedeus
sebagai penulis kitab ini. Keraguan ini
muncul karena gaya dan bahasa Kitab Wahyu sangat berbeda dengan tulisan Yohanes
di dalam Injil dan surat-suratnya. Jika
di dalam injil dan surat-suratnya, Yohanes menggunakan bahasa Yunani yang sempurna
dan Indah. Bahasa Yunani Kitab Wahyu,
meskipun memiliki keunikan tersendiri, terkesan sangat sederhana dan tidak
menggunakan tata bahasa yang baik (para ahli menyebutnya sebagai bahasa Yunani
barbar).[1]
Alasan selanjutnya, Yohanes dalam Kitab Wahyu tidak pernah memperkenalkan
dirinya sebagai rasul atau murid Yesus, seperti yang biasa dilakukan oleh rasul
Yohanes dalam tulisan-tulisannya. Bahkan,
Yohanes dalam Kitab Wahyu justru mengakui dirinya sebagai nabi, yang jelas
menunjuk kepada suatu tugas dan panggilan yang berbeda dari seorang rasul,
seperti Yohanes murid Yesus.[2]
Benar atau tidaknya informasi di
atas, menurut pendapat peneliti, bahwa penulis
Kitab Wahyu adalah Rasul Yohanes, murid Yesus. Hal ini
didasarkan oleh tiga fakta Penting yang diinfomasikan oleh Kitab Wahyu.[3]
Fakta pertama, pengakuan Yohanes sebagai
nabi. Yohanes dikenal oleh sebagian besar jemaat
di Asia sebagai salah satu nabi (22:6). [4] Itu berarti, dengan mengaku sebagai nabi, Yohanes yang disebutkan oleh
Kitab Wahyu adalah seseorang yang memiliki otoritas atau berpengaruh dalam
kehidupan tujuh jemaat. Tentu saja jika melihat siapa yang
memiliki otoritas dan pengaruh di zaman jemaat mula-mula dengan nama
Yohanes. Tidak ada nama lain lagi, yang
tercatat di tulisan-tulisan kekristenan zaman itu dengan nama “Yohanes (yang
lain)” sebagai tokoh besar atau berpengaruh terhadap tujuh jemaat mula-mula,
selain Yohanes Rasul.
Fakta kedua, pengakuan Yohanes sebagai
nabi dan bukan sebagai rasul bukan sesuatu yang asing pada zaman itu. Sebab pada zaman itu merupakan fenomena yang
populer bagi para guru spiritual untuk menambahkan gelar atau status nabi dalam
mengajarkan pesan-pesan apokaliptis. Fenomena
inilah yang kemudian mempengaruhi gereja-gereja di Asia, sehingga banyak
pengajar Kristen yang mengaku dirinya sebagai nabi untuk mengajarkan pesan
apokaliptis. Uniknya, oleh karena banyak
pengajar Kristen yang mengaku dirinya sebagai nabi, terkadang menimbulkan
masalah tersendiri bagi gereja untuk membedakan nabi sejati dengan nabi palsu.[5]
Fakta yang lain, mengenai hukuman
Yohanes oleh karena memberitakan Injil.
Jika melihat dalam Alkitab, informasi terakhir tentang kehidupan Yohanes
rasul adalah pada waktu dihukum oleh karena memberitakan Injil pada masa
pemerintahan Nero. Pendapat ini sangat
cocok dengan informasi yang dijelaskan oleh Kitab Wahyu. Kitab Wahyu menulis
bahwa keberadaan
Yohanes di pulau Patmos, oleh karena Bersaksi
tentang Firman Allah dan Yesus Kristus (1:2).[6]
Ini merupakan sebuah petunjuk bahwa ia dibuang di pulau Patmos karena
memberitakan injil.
Berdasarkan suatu informasi Patmos
adalah sebuah pulau vulkanik kecil di Laut Aegea, Sekitar 40-50 mil bagian
barat daya Efesus. Menurut Pliny pulau
itu digunakan Sebagai tempat pengasingan politik dan korban penganiayaan agama.[7]
Karena pulau ini digunakan Sebagai tempat hukuman dari tahanan politik dan
korban penganiayaan agama, orang-orang yang dibuang dipulau itu memiliki
kewajiban untuk bekerja sesuai dengan berat hukumannya. Pada tingkat tertinggi, dipekerjakan sebagai
budak di tambang Romawi. Sedangkan pada
tingkat menengah, tinggal dalam jangka waktu yang cukup lama, dicabut hak
sipilnya dan aset berharganya disita oleh pemerintah. Sedangkan pada tingkat yang paling rendah,
wajib tinggal di pulau ini sesuai waktu yang ditentukan dan biasanya tidak
terlampau lama. Dari keterangan yang
ada, tidak diketahui secara pasti pada tingkat mana hukuman yang diterima oleh Yohanes
di Pulau Patmos. Namun ada sumber
terkait memberikan keterangan, bahwa Yohanes tinggal di pulau itu selama tiga
puluh tahun pada waktu kaisar
Nero berkuasa.[8]
Kemudian
mengenai kapan ditulisnya? Ada dua klaim bahwa Kitab Wahyu ditulis sebelum
Tahun 70 M (sekitar Tahun 54-68 M pada masa akhir pemerintahan Nero) dan
sesudah Tahun 70 M (Sekitar Tahun 81-96 M pada masa pemerintahan Domitianus).[9] Namun, penulis lebih setuju yang pertama. Yaitu sebelum tahun 70 M oleh karena terdapat
bukti internal dan eksternal yang menunjukkan tanggal penulisan pada masa
pemerintahan Nero.
Bukti internal adalah keterangan yang secara implisit
di jelaskan oleh Kitab Wahyu. Di dalam Kitab
Wahyu, banyak ditemukan bukti yang memberikan keterangan pada Tahun 68-69 M. Seperti adanya mitos “Nero Redivivus” yang
digambarkan oleh Kitab Wahyu sebagai binatang dari laut yang telah sembuh
lukanya (13: 1-10). Banyak penafsir
menganggap binatang itu adalah manifestasi Nero. Bahwa Nero akan hidup kembali dalam wujud
manusia lain setelah bunuh diri sesuai dengan mitos yang berkembang di
masyarakat setelah kematian Nero.[10]
Anggapan ini sesuai, jika melihat arti dari angka 666 dalam huruf ibrani dapat
diterjemahkan menjadi Neron Kaesar (kaisar Nero).
Bukti lainnya terdapat dalam nubuatan terhadap Babel
yang berbicara mengenai binatang berkepala tujuh (17:10). Dalam nubuatan itu dikatakan bahwa lima
diantaranya sudah jatuh, dan yang lain “sudah ada” dan “akan datang.” Jika menafsirkan ayat ini berdasarkan sejarah, maka lima
kepala itu adalah lima kaisar Romawi yang telah turun tahta, yakni; Julius,
Augustus, Tiberius, Caligula dan Claudius.
Sedangkan yang keenam atau “sudah ada” adalah Nero. Dan orang yang ketujuh, “yang akan datang”
masih bersifat nubuat sesuai dengan simbol angka tujuh kepercayaan Yahudi.
Selain itu, di wahyu 11:1-2 tentang visi Yohanes yang
mengukur bait suci dengan tongkat.
Yohanes sedang memberikan gambaran tentang Yerusalem yang sejati. Bahwa Yerusalem yang sejati bukanlah
Yerusalem bangunan fisik yang ada sekarang.
Melainkan Yerusalem yang sejati adalah Yerusalem yang ada diatas dan
berasal dari Allah sendiri. Ini juga
merupakan salah satu bukti bahwa kitab ini ditulis sebelum hancurnya bait suci
pada Tahun 70 M.
Pendapat ini dibuat oleh karena tidak adanya informasi mengenai kehancuran bait
suci di dalam Kitab Wahyu.
Bukti-bukti
eksternal diluar Kitab Wahyu juga banyak
memberikan petunjuk pada pemerintahan Nero.
Petunjuk pertama, banyak dokumen sejarah pada masa Nero memberikan
keterangan mengenai penyiksaan orang-orang Kristen jauh lebih banyak dari pada
yang dapat ditemukan pada masa Domitianus.[11]
Petunjuk kedua, hanya Nero yang memiliki alasan kuat untuk membenci dan
menyiksa orang-orang Kristen, daripada Domitianus.[12]
Banyak sumber menjelaskan bahwa Nero memiliki alasan kuat untuk menyiksa
orang-orang Kristen sebagai kambing hitam atas pembakaran yang dilakukannya di
Roma pada tahun 64 M. Sumber ini
mendapat konfirmasi dari sejarawan Romawi awal abad kedua (Tacitus, Suetonius
dan Plutarch) dengan pendapat yang hampir sama.
Ketiganya menjelaskan bahwa tahun-tahun terakhir kehidupan Nero, adalah
tahun malapetaka bagi orang-orang Kristen,—Tahun malapetaka ini juga dikenal
dengan sebutan “The Year Of The Four Emperors (Tahun dari empat raja).” [13]
[14]
Penerima Surat
Surat Wahyu sesungguhnya
dialamatkan kepada gereja universal di Asia, bukan hanya kepada tujuh gereja
yang tertulis di dalam Kitab Wahyu 1:4 (Efesus,
Smirna, Pergamus, Tiatira, Sardis, Filadelfia, dan Laodikia). Angka tujuh sebagai jumlah dari gereja
penerima surat, tidak dapat ditafsirkan secara harafiah. Angka tujuh merupakan bahasa simbol yang
berarti kepenuhan dan kesempurnaan. Jadi
maksud Yohanes menulis surat ini kepada tujuh gereja yang dituju, merupakan
sebuah strategi untuk menyebarluaskan surat wahyu kepada seluruh gereja di Asia.[15] Maksud
Yohanes untuk menyebarluaskan surat wahyu secara universal di Asia, tersirat
dari pernyataan wahyu 1:3 “Berbahagialah
ia yang membacakan dan mereka yang mendengarkan kata-kata nubuat ini, dan yang
menuruti apa yang ada tertulis di dalamnya, sebab waktunya sudah dekat.”
Seperti apakah keadaan gereja-gereja
di Asia pada saat itu? secara umum keadaan gereja-gereja di Asia, diwakili oleh
tujuh gereja yang menerima surat wahyu. Apa
yang dialami oleh ketujuh gereja tersebut? ketujuh gereja sedang diambang
perpecahan. Hal ini dapat dilihat dari
cara Yohanes memperkenalkan diri di wahyu 1:9, “Aku, Yohanes, saudara dan sekutumu dalam kesusahan, dalam Kerajaan dan
dalam ketekunan menantikan Yesus, berada di pulau yang bernama Patmos oleh
karena firman Allah dan kesaksian yang diberikan oleh Yesus.” Cara Yohanes menyebut dirinya
dalam banyak istiliah yang cukup beranekaragam.
Mulai dari Yohanes, saudara sekutumu dalam kesusahan, tekun menantikan
Yesus, dan berada di Patmos. Sebenarnya
Memperlihatkan adanya perbedaan hubungan dan komunikasi Yohanes kepada
tiap-tiap gereja di Asia. [16]
Perbedaan hubungan dan komunikasi ini mengisyaratkan bahwa sesama
gereja di Asia mulai menunjukkan adanya perpecahan, kurang harmonis dan tidak
berhubungan erat satu sama lain.
Selain itu, tujuh gereja ini
sedang mengalami tekanan yang cukup berat dari luar. Tekanan dari luar tersebut berasal dari Yudaisme,
kehidupan bangsa kafir dan pemerintah Romawi.[17]
Dari Yudaisme—orang Kristen dibenci dan dimusuhi karena dianggap sebagai sekte
sesat, yang berkembang dari dalam agama Yahudi.
Dari kehidupan bangsa kafir—kehidupan duniawi yang imoralitas dan
ritual-ritual keagamaan yang begitu majemuk disekitar orang-orang Kristen,
memberikan pengaruh yang cukup kuat bagi kehidupan beriman. Sedangkan dari pemerintah romawi—Kaisar
Romawi sebagai penguasa tunggal di seluruh Asia, memiliki aturan mutlak, yang
harus ditaati oleh setiap orang. Aturan
mutlak ini adalah sebuah aturan yang mengharuskan setiap orang untuk melakukan
ritual penyembahan terhadap kaisar dan berhala bangsa romawi. Semua yang dialami oleh Ketujuh gereja
tersebut sesungguhnya merupakan gambaran skala kecil dari keadaan dan
pergumulan yang dialami oleh gereja secara universal di Asia pada
waktu itu.[18]
Keadaan Sosial
Kehidupan Sosial gereja Kristen di Asia tidak lepas dari lingkungan
kelompok Yahudi. Maka tidak asing lagi
apabila wajah kekristenan awal begitu sama dengan Yudaisme.[19]
Kesamaan antara kekristenan dengan Yudaisme terlihat begitu jelas dari
simbol-simbol yang dipakai oleh Kitab Wahyu.
Simbol-simbol yang dipakai dalam Kitab Wahyu selalu berhubungan dengan
nubuatan Perjanjian Lama dan konsep eskatologi orang Yahudi. Selain itu pula, sebagian besar liturgi
ibadah Kristen mengadopsi liturgi Yudaisme, seperti; pembacaan firman Tuhan,
pembacaan doa, dan aturan paskah.[20]
Berdasarkan fenomena yang ada, seolah-olah kekristenan awal telah melebur
menjadi satu dengan Yudaisme. Keadaan inilah yang membuat Rudolf Bultmann berpendapat bahwa kekristenan zaman wahyu
adalah "Yudaisme yang dikristenkan dengan lemah”.[21]
Meskipun kelompok Kristen awal memiliki kesamaan dengan kelompok Yudaisme,
orang-orang Kristen awal selalu mengalami penolakan dan permusuhan dari Yudaisme
itu sendiri (Lih. 2:9 dan 3:9). Permasalahan
utama yang menjadi penyebab penolakan dan permusuhan Yudaisme terhadap
orang-orang Kristen, sesungguhnya berawal dari kepercayaan orang Kristen kepada
Kristus. Bagi orang Yahudi,
sosok Kristus yang dipercaya orang Kristen sebagai sebagai Tuhan penyelamat,
bertentangan dengan kepercayaan monoteisme Yahudi.[22] Kepercayaan monoteisme Yahudi, secara tegas memberikan
pemisah antara pencipta dan mahkluk ciptaan, antara yang ilahi dan yang insani. Dalam kepercayaan ini, segala bentuk perilaku
agamawi selalu menunjukan pemisahan yang jelas antara Allah yang kudus dan
sempurna dengan manusia yang terbatas (Seperti praktik ibadah di dalam bait
suci yang memisahkan serambi salomo, ruang kudus dan ruang maha kudus).[23] Oleh sebab itu orang Yahudi
dalam kepercayaan monoteisnya, tidak dapat memberikan tempat khusus bagi Kristus,
yang diakui oleh orang Kristen sebagai, manusia dan juga Allah, Juruselamat,
perantara atau mediator antara manusia dengan Allah.
Kekristenan awal bukan hanya
berbenturan dengan golongan Yudaisme saja, tetapi juga berbenturan dengan
budaya dan agama kafir diluar gereja. Benturan
dengan budaya dan agama kafir tersebut, kemudian melahirkan para bidah Kristen
dengan pengajarannya yang menyesatkan gereja.[24]
Menurut keterangan Kitab Wahyu, para bidah ini mengakui dirinya sebagai rasul-rasul (2:2), pengikut Nikolaus (2:6, 15), pengikut
ajaran Bileam (2:14), dan pengikut wanita Izebel (2:20). Dalam
prakteknya, para bidah ini hidup dalam perzinahan (2:14, 20), materialistis
(3:17), dan nampaknya juga ada pengaruh ajaran Gnosis. Sebab disebutkan
oleh kitab ini, bahwa para bidah ini mengetahui seluk-beluk Iblis (2:24).
Keadaan Politik
Secara politik, lima tahun pertama pemerintahan Nero atas
provinsi-provinsi berjalan dengan baik. Akan
tetapi sejak Nero membunuh adik tiri, ibu dan ketiga istrinya pada Tahun 59-60,
negara Roma mengalami kemunduran. Kemunduran
itu terjadi sejak Nero mulai memerintah dengan sewenang-wenang dan kejam untuk
memuaskan hasrat seninya.[25]
Demi ambisinya untuk meniti karier dibidang seni (dari pada menjadi seorang
negarawan). Nero telah menghabiskan
banyak uang dari perbendaharaan negara dan berusaha mengisinya dengan cara-cara
kekerasan, seperti; menjual aset-aset negara, menuntut warisan keluarga kepada
negara dan melakukan pemerasan.[26]
Tidak hanya berhenti sampai disitu, puncak dari ambisi Nero adalah
membangun istana emas (Domus Auera) di atas bukit Esquiline yang berada di
pusat kota. Untuk mewujudkannya, Nero
secara diam-diam melakukan pembakaran di kota Roma pada Tahun 64 yang
berlangsung selama 39 hari, dan memusnahkan 10 daerah
di pusat kota.[27]
Setelah tragedi kebakaran itu, segera tersiar kabar bahwa Kaisar Nero sebagai
pelaku utama pembakaran kota.
Maka untuk menutupi
kejahatannya, Nero kemudian mencari kambing hitam dengan memfitnah orang-orang Kristen
sebagai penyebab kebakaran tersebut.[28]
Dalam usahanya untuk meyakinkan rakyat bahwa ia tidak bersalah atas kejadian
itu. Nero kemudian memerintahkan untuk
menangkap dan membunuh orang Kristen dengan cara-cara yang
sangat kejam. Ada yang dimasukkan dalam
penjara; disalibkan; ada yang dijahit dalam kulit binatang, kemudian di buru
dan dimakan anjing lapar; Ada juga
yang dilumuri
dengan ter, lalu dibakar di jalanan sampai mati.[29]
Begitu kejamnya penyiksaan yang dilakukan Nero pada waktu itu—hingga menurut
tradisi, Rasul Paulus dan Petrus juga di hukum mati pada masa penyiksaan
tersebut.
Keadaan Agama
Sejak awal mula berdirinya Romawi kuno, agama Romawi bersifat politeistik.
Orang-orang
Romawi menyembah ribuan dewa yang ada di alam, seperti: Batu, air, pohon, gunung, api dan berbagai
macam benda. Menurut kepercayaan romawi,
segala sesuatu yang ada di alam memiliki roh penjaga atau oknum-oknum ilahi
yang setidaknya memiliki satu pekerjaan khusus.
Bermula dari kepercayaan inilah, setelah romawi melakukan perluasan di
dataran mediterania, afrika dan Asia, bangsa romawi banyak mengadopsi dewa-dewa
dan mitos-mitos yang terdapat di daerah kekuasaannya (sebagian besar kepercayaan
bangsa ini mengadopsi
dewa-dewa dan mitologi Yunani).[30]
Seiring
berjalannya waktu, setelah roma menyatakan diri sebagai negara kekaisaran. Kaisar pertama, Gaius Julius Caesar Agustus
atau yang disebut sebagai Augustus dinobatkan oleh senat atau institusi politik
tertinggi saat itu sebagai Caesar,
Opticos atau Dominus (istilah yang setara dengan Raja atau Tuhan), yang
ditandai dengan berdirinya kuil Pantheon untuk memuja kaisar pada tahun 27 M.[31]
Sejak semula, pengakuan kaisar sebagai raja atau Tuhan hanyalah sebuah
gelar. Tetapi setelah kematian Agustus,
gelar ini memiliki arti baru sebagai langkah politik romawi. Bagi pemerintah romawi, negara dan agama
adalah satu-kesatuan. Pada waktu itu,
agama adalah alat politik untuk melanggengkan kekuasaan. Agama merupakan sarana untuk menjamin kerjasama,
kebajikan dan kedamaian di
seluruh daerah kekuasaan kaisar.[32]
Maka dari itu
ritual pemujaan terhadap kaisar, tidak lain merupakan suatu bentuk loyalitas
dan ketaatan rakyat untuk mendukung berjalannya roda pemerintahan romawi. Jika didapati ada rakyat yang menentang atau
menolak memuja kaisar. Perbuatan itu
dianggap sebagai bentuk pelanggaran hukum melawan pemerintah. Segala bentuk pelanggaran yang berkaitan
dengan hal itu akan dihukum dengan berat, yakni diasingkan atau hukuman mati.[33]
Agama roma dengan kebijakannya untuk melakukan ritual penyembahan
terhadap kaisar, adalah tantangan terbesar bagi iman Kristen pada waktu itu. Meskipun kebijakan tersebut lebih cenderung
kepada kesetiaan politik dan bukan ibadah religius. Gereja pada masa awal yang dikenal begitu
militan dan radikal dalam iman, dengan tegas menolak memberi penghormatan
“Tuhan” selain kepada Kristus.[34] Oleh karena sikap gereja yang menolak kebijakan pemerintah
dan tidak mau melakukan ritus agama Romawi, gereja mulai menjadi perhatian
khusus pemerintah.
Pemerintah romawi mulai
curiga dengan aktivitas orang-orang Kristen karena dianggap begitu eksklusif dan
supertitio.[35] Kecurigaan itu muncul dikarenakan oleh tiga alasan:
(1) Orang Kristen menolak segala bentuk kultus agama negara. (2) Penolakan orang Kristen
tersebut dianggap sebagai bentuk oposisi terhadap pemerintahan. (3) Kecurigaan semakin kuat sebab
orang Kristen mengaku mempunyai “raja dan kerajaan lain” yang patut disembah.[36] Berdasarkan alasan diatas, sangat wajar apabila orang Kristen
mula-mula menjadi sasaran fitnah atas terbakarnya kota Roma dan dianiaya dengan
kejam oleh kaisar Nero.
Tujuan Penulisan
Tujuan ditulisnya Kitab Wahyu disebabkan oleh dua pokok persoalan yang
sedang dihadapi gereja di Asia pada waktu itu.
Persoalan yang pertama, gereja-gereja di Asia sebagai penerima
surat, mengalami penderitaan karena penganiayaan yang dilakukan oleh pemerintah
Romawi. Kedua, adanya keyakinan dari
orang-orang percaya pada waktu itu tentang akhir zaman yang diharapkan segera
terjadi.[37]
Dengan membaca Kitab Wahyu berdasarkan kedua pokok persoalan ini, maka akan
didapati beberapa alasan utama dari tujuan penulisan kitab ini:
1. Yohanes tengah menyampaikan
visi ilahi kepada gereja tentang kekuasaan dan kedaulatan Allah atas sejarah
dunia. Melalui tulisannya Yohanes
memberikan gambaran tentang suatu masa depan dimana pemerintahan Allah terus
berkuasa atas dunia, sampai pada akhirnya menaklukan segala realitas kejahatan
dan menggenapi janji-Nya bagi keselamatan orang-orang yang benar melalui Yesus Kristus.[38]
2. Memberikan himbauan kepada
jemaat agar hidup dalam bertobatan. Pertobatan
menjadi pesan yang cukup penting di dalam Kitab Wahyu oleh karena kata
“metanoeo” ditulis hingga delapan kali. Hal
ini dimaksudkan, agar jemaat yang telah meninggalkan pengajaran para rasul dan
hidup berkompromi dengan dosa, segera bertobat untuk menyongsong kedatangan
Tuhan Yesus, yang diyakini akan segera terjadi.[39]
3. Kitab ini dikirimkan kepada
gereja guna meneguhkan iman di tengah-tengah penderitaan.[40]
Mengingat penganiayaan yang dilakukan oleh Nero kepada orang-orang Kristen pada
waktu itu. Banyak diantara orang-orang Kristen
yang harus mengalami berbagai macam penderitaan. Maka dari itu, dengan adanya pesan Kitab
Wahyu yang bersifat apokaliptis ini, dapat memberikan penghiburan dan harapan
bagi pembacanya agar mengalihkan perhatian, dari malapetaka masa kini, kepada
masa depan yang gemilang, yaitu memperoleh keselamatan kekal.
4. Selain itu, pesan Yohanes
kepada tujuh gereja merupakan sebuah petunjuk bahwa gereja telah dipanggil
untuk terlibat dalam pertarungan eskatologis melawan kekuatan jahat. Kitab Wahyu tidak menawarkan orang-orang Kristen
sebuah pelarian dari penderitaan dan Penganiayaan dengan cara pengangkatan
(pretribulation).[41] Gereja harus menghadapi pertarungan melawan kejahatan
dan penderitaan itu sebagai tugas panggilan yang diberikan oleh Kristus. Apabila gereja tetap taat dan
setia menjalankan panggilannya, Tuhan telah memberi jaminan kemenangan total
pada waktu Kristus datang kedua kalinya.
Tema Surat
Para penafsir pada umumnya memberi tema kitab ini adalah “Wahyu Yesus Kristus”
(1:1). Dari kalimat ini saja terdapat
dua pengertian yang muncul, “Wahyu Yesus Kristus” dapat diartikan wahyu dari
Yesus Kristus sendiri, atau wahyu tentang Yesus Kristus yang ditulis oleh Yohanes. Meskipun demikian, kedua pengertian ini tidak
perlu diperdebatkan. Sebab kedua
pengertian ini sama-sama menjadikan Kristus sebagai fokus atau tokoh utama
dalam kitab ini.[42]
Siapakah sejatinya Kristus menurut Kitab Wahyu? Kristus menurut Kitab
Wahyu digambarkan sebagai Kristus yang telah menang.[43]
Dari awal hingga akhir kitab ini, Yohanes mengambarkan suatu ide besar mengenai
pertempuran sengit antara kejahatan dan kebaikan. Kitab ini secara berulang-ulang mengambarkan
konflik antara Allah dan Iblis, antara Anak Domba dan naga, jemaat dan dunia, kota suci Yerusalem dan kota besar Babel,
mempelai dan pelacur, orang-orang yang memiliki tanda nama Kristus di kening
dan orang-orang yang memiliki tanda nama binatang (7:2-3; 13:17; 14:1; 16:2;
19:20 dan 22:4). Konflik tersebut secara nyata memisahkan kedua pihak. Pihak
kejahatan yang diwakili oleh Iblis di dunia yang tercela, penuh penderitaan, dan pihak kebaikan yang diwakili oleh karya Kristus atas
umat-Nya.
Tetapi pertarungan tersebut
akan selesai, karena pada akhirnya nanti, Kristus dan umat-Nya yang
akan muncul sebagai pemenang dan mengalahkan semua kekuatan dan kuasa Iblis
yang menentang-Nya.
Tema ini
pun sangat relevan jika melihat situasi yang dialami oleh jemaat kala
itu. Ditengah-tengah penderitaan,
penganiayaan dan kematian. Berita
tentang kemenangan Kristus mampu memberi penghiburan bagi jemaat untuk tetap bertahan
dalam iman dan pengharapan akan janji Allah untuk kehidupan kekal serta penghakiman atas dunia yang jahat.
[1]David
H. Van Daalen, Pedoman Ke Dalam Kitab
Wahyu. Terj. Stephen Suleeman (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1999), 8-9.
[2] Eka
Darmaputera, Menyingkap Janji Tuhan:
Pemahaman Kitab Wahyu Tentang Iman dan Pengharapan Ditengah Penganiayaan dan
Penderitaan (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2012), 10-11. William Barclay, Pemahaman Alkitab Setiap Hari: Wahyu Kepada Yohanes Pasal 1-5.
Terj. A. A. Yewangoe (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2001), 19-20.
[3]Ibid.
[4]Richard
Bauckham, The New Testament Theology: The
Theology Of The Book Of Revelation (Cambridge: University Press, 2003), 3.
[5]George Eldon Ladd, A
Commentary On The Revelation Of John
(Grand Rapids, Michigan: Wm. B. Eerdmans Publishing, 1972), 7.
[6]Van
Daalen., Ibid.
[8]J. N. Sanders, “St John on Patmos”. New Testament Studies/Volume 9/Issue 02/January (1963): 76-78.
[9]Robert
H. Mounce, The Book Of Revelation
(Michigan, Grand Rapids: Wm. B. Eerdmans Publishing, 1998), 15-16.
[10]Tacitus, History.,
1:2; 2:8; Suetonius, The Lives Of The Twelve Caesars: Nero., 57. Larry
Kreitzer, “Hadrian And The Nero Redivivus Myth,” New York University: Bobst Library
Technical Authenticated (2000): 93.
[11]Jika
membandingkan jumlah dokumen sejarah mengenai penyiksaan orang Kristen antara
masa pemerintahan Nero dan masa pemerintahan Domitianus. Justru lebih banyak sumber ditemukan pada
masa pemerintahan Nero. bahkan, seorang
sejarawan yang bernama Tacitus dapat menceritakan secara rinci tentang salah
satu bentuk kegilaan Nero yang menyiksa orang Kristen dengan diikat di tiang,
disiram minyak dan dibakar dipinggir jalan-jalan Roma. J.
Christian Wilson, “The
Problem of the Domitianic Date of Revelation,” New Testament Studies/Volume 39/Issue 04/October (1993): 4.
[12]Menurut pendapat E. T. Merril, “pada masa Domitianus
penganiayaan terhadap orang Kristen sangat sedikit dan kurang jelas”. Domitianus melakukan penganiayaan terhadap
orang Kristen hanya demi kepentingan aristokrasi Romawi atau untuk melanggengkan
pemerintahannya saja (itu pun hanya kepada orang-orang Kristen terpandang, yang
dicurigai memiliki pengaruh secara politik terhadap pemerintah). Meskipun Domitianus menjuluki dirinya sebagai
“dominus et deus noster” tuhan dan allah kami.
Domitianus tidak terlalu mendambakan dirinya agar disembah oleh rakyat
atau melakukan perlawanan secara khusus terhadap orang-orang Kristen yang
menolak untuk menyembah dia seperti Nero.
Justru pada masa pemerintahannya, keadaan provinsi-provinsi Romawi dalam
suasana politik yang stabil dan mengalami kemajuan secara ekonomi.
Meskipun tidak dapat
disangkali, Domitianus juga melakukan kekerasan terhadap rakyat. Domitianus tidak melakukan kekerasan hanya
pada golongan tertentu, seperti orang Kristen.
tetapi kekerasan itu ditunjukan pada semua orang yang dicurigai sebagai
ancaman atas keselamatan nyawanya sendiri.
Domitianus merasa perlu berbuat demikian, karena seumur hidupnya, ia
selalu hidup dalam bayang-bayang tentang waktu dan cara kematiannya yang sudah
dekat.
Oleh karena selalu
dibayangi dengan kematian, Domitianus memiliki ketakutan dan kekuatiran yang
berlebihan. Perilaku tersebut nampak
dari keinginan-keinginannya yang cukup aneh, seperti: (1) galeri tempat dia
berjalan harus dilapisi dengan batu yang dipoles, agar ia bisa melihat pantulan
bayangan di belakang punggungnya; (2) tidak ada tahanan yang diperbolehkan
membuat banding, kecuali ia memegang rantai mereka; (3) dia bahkan mengeksekusi
mati sekretarisnya yang bernama Epafroditus karena dicurigai sebagai penyebab
dari bunuh diri Nero; (4) Selain itu, Domitianus juga membunuh Flavia
Domitilla, keponakan Flavius Clemens sang konsul, tanpa alasan yang
jelas. Shirley Jackson Case, “Josephus
Anticipation of a Domitianic Persecution, Journal of Biblical Literature,” Vol.
44, No. 1/2 (1925): 10-11; Albert A. Bell, Jr, “The Date Of John's Apocalypse:
The Evidence Of Some Roman Historians Reconsidered,” New Testament
Studies/Volume 25/Issue 01/October (1978): 95; Leonard Thompson, The Book of
Revelation: Apocalypse and Empire (New York, Oxford: Oxford University,
1990), 95-167.
[13]A.
Bell., 93.
[14]The Year of
the Four Emperors (Tahun empat
kaisar) adalah suatu periode pergantian pemerintahan empat kaisar romawi yang
terjadi dalam jangka waktu yang sangat pendek, yakni dalam jangka waktu 18
bulan. Dimulai dengan bunuh diri Nero
pada bulan Juni Tahun 68 M. Kemudian
digantikan oleh Galba, yang secara resmi Mendeklarasikan diri sebagai kaisar di
bulan yang sama setelah kematian Nero, tetapi dibunuh pada tanggal 15 Januari
Tahun 69 M. Lalu digantikan oleh Otho,
yang tidak lama kemudian dicopot jabatannya dan bunuh diri pada Tanggal 16
April. Berdasarkan penelitian sejarah
Penyebab Otho bunuh diri oleh karena telah terbukti melakukan kudeta serta
pembunuhan terhadap Galba. Tidak lama
kemudian, jabatan Otho segara digantikan oleh Vitellius yang telah berjasa
dalam meredam kudeta tersebut. Namun
pemerintahan Vitellius tidak bertahan lama, setelah ia menjadi kaisar hanya
dalam beberapa bulan, ia dibunuh oleh pengikut VespAsianus dan langsung
digantikan oleh VespAsianus itu sendiri pada bulan Desember Tahun 69 M. Gwyn Morgan, 69 A.D.: The Year Of Four Emperors (New York: Oxford University
Press, 2006), 1-3.
[15]Joseph
L. Trafton, Reading Revelation: A
Literary And Theological Commentary (Georgia, Macon: Smyth & Helwys Publishing,
2005), 6.
[16]Nestor
Paulo Friedrich, “Adapt or Resist? A Socio-Political Reading of Revelation
2.18-29,” Journal for the Study of the
New Testament 25:185 (2002): 189.
[17]Simon
J. Kristemaker, Tafsiran Kitab Wahyu (Surabaya:
Momentum, 2014), 36, 39-40.
[18]J.
I. Packer, Merril C. Tenney dan William White, Jr., Dunia Perjanjian Baru (Malang: Gandum Mas, 1993), 183.
[19]David
A. De Silva, “The Social Setting Of The
Revelation To John: Conflicts Within, Fears Without,” Westminster Theological Journal 54/273-302 (1992): 279.
[20]Lucetta
Mowry, “Revelation 4-5 And Early Christian Liturgical Usage,” Journal Of Biblical
Literature, Vol. 71/No. 2/Bulan Juni (1952): 82-84.
[21]G. R. Beasley-Murray,
“How Christian Is The Book Of Revelation?”
Robert Banks, ed., Reconciliation And Hope: New Testament Essays On Atonement and Eschatology Presented to L.L. Morris
on his 60th Birthday. Carlisle:
The Paternoster Press (1974): 276-278.
[22]Ibid.
[23]Richard Bauckham, The Climax Of
Prophecy: Studies On The Book Of Revelation (Edinburg, Skotlandia: T&T
Clark Ltd, 1993), 117-118.
[24]Yohanes
Bambang Mulyono, Teologi Ketabahan:
Ulasan Atas Kitab Wahyu Yohanes (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1993), 18.
[25]Pribadi nero yang kejam sesungguhnya telah terbentuk dari figur orang
tuanya. Ayahnya, Gnaeus Domitius Ahenobarbus adalah seorang pejabat administrasi
yang mempunyai reputasi dan perilaku buruk.
Dia terlibat sebagai kaki tangan Albucilla dalam kejahatan perzinahan dan pembunuhan, serta melakukan
perkawinan sedarah dengan saudaranya sendiri. Ibu Nero yang bernama Agrippina Minor atau Arippina Muda, adalah adik dari Kaisar Caligula. ia cantik tetapi jahatnya luar biasa. Ia dikenal sebagai seorang yang penuh dengan
tipu muslihat dan licik, gemar akan kekuasaan dan serakah terhadap
kedudukan. Pernah memerintah untuk
melakukan pembunuhan massal, dan menyiksa orang lain demi kesenangan. Cassius Dio.
Roman History LXII., 14, 15-17; William Smith, "Ahenobarbus, Gnaeus
Ahenobarbus" , dalam Dictionary
of Greek and Roman Biography and Mythology, Vol. 1 (Boston: Little, Brown and Company, 1867), 86.
[26]Merril
C. Tenney, Survei Perjanjian Baru (Malang:
Gandum Mas, 1992), 8, 10-11.
[27]William
Smith., Ibid.
[28]Dave
Hagelberg, Tafsir Kitab Wahyu Dari Bahasa
Yunani (Yogyakarta: Yayasan ANDI, 2013), 5.
[30]Donald L. Wasson, “Roman Religion,” Ancient
History Encyclopedia, diakses 1 Juni 2017, http://www.ancient.eu/Roman_Religion/.
[31]Bread Mary, John North, dan
Simon Price, Religions Of Rome: A History, Volume 1 (Cambrige: Cambridge
University Press, 1998), 331-332.
[32]William Barclay, “Great Themes Of The New
Testament,” The University Of Glasgow:
The Ekspository Time/Revelation XIII: 259, 261.
[33]Kistemaker.,
38.
[34]Gary R. Habermas, The Historical
Jesus: Ancient Evidence For The Life Of Christ (Missouri, Joplin: College Press, 1996), 197-200.
[35]Supertitio adalah Pengabdian dan antusiasme yang berlebihan dalam ketaatan religius, dalam arti
melakukan atau mempercayai lebih dari pada yang diperlukan. Ibid., 199.
[36]Y.
B. Mulyono., 16.
[37]Willi
Marxsen, Pengantar Perjanjian Baru:
Pendekatan Kristis Terhadap Masalah-Masalahnya. Terj. Stephen Suleeman (Jakarta: BPK gunung Mulia, 2009),
340.
[38]Bauckham., 9.
[39]Fred
B. Craddock, “Preaching The Book Of Revelation: Interpretation,” Emory University: New
Testament Candler School of Theology (2015): 273.
[40]David
Imam Santoso, Membaca Dan Memahami Kitab
Wahyu: Pesan Kristus Kepada Gereja-Nya (Malang: literatur SAAT, 2006),
19.
[41]Craddock.,
272.
[42]Tenney.,
283-484.
[43]Leon Morris, Teologi Perjanjian Baru (Malang: Gandum Mas, 1996), 410.
Yang penting Pengurapan Raja Yesus Kristus yg mengajarkan Rasul Yohanes di Pulau Patmos, juga mengajar kita, sehingga kita pahami dan lakukan setiap perintahNya yang tertulis di dalam Kitab Wahyu tersebut.
ReplyDelete