Thursday, 26 April 2018

Paper : 3 Aliran Filsafat (Rasionalisme, Pragmatisme, Autoritarianisme)


3 Aliran Filsafat : Rasionalisme, Pragmatisme, Autoritarianisme

Disusun Oleh : Nusye B Manuputty
STT Berea Salatiga


BAB I PENDAHULUAN

Pembahasan aliran – aliran filsafat merupakan penelahan salah satu aspek sekaligus menyangkut dengan faham dan pandangan para ahli pikir dan filosuf. Dari kajian ini para ahli melihat sesuatu atau menyeluruh, mendalam dan sistematis. Para filsus menggunakan sudut pandang yang berbeda sehingga menghasilkan filsafat yang berbeda pula. Antara aliran atau paham satu dengan yang lainnya, ada yang saling bertentangan dan ada pula yang memiliki konsep dasar yang sama. Akan tetapi meskipun bertentangan, bukanlah untuk saling dipertentangkan. Justru dengan banyak aliran atau paham yang sudah diperkenalkan oleh tokoh – tokoh filsafat, kita dapat memilih cara yang pas dengan persoalan yang sedang kita hadapi.
Memahami sistem filsafat sesungguhnya menelusuri  dan mengkaji suatu pemikiran mendasar dan tertua yang  mengawali kebudayaan manusia. Suatu sistem, filsafat berkembang berdasarkan ajaran seorang atau beberapa orang tokoh pemikir filsafat. Sistem filsafat sebagai suatu masyarakat atau bangsa. Sistem filsafat amat ditentukan oleh potensi dan kondisi masyarakat atau bangsa itu, tegasnya oleh kerja sama faktor dalam dan faktor luar. Faktor-faktor ini di antaranya yang utama ialah sikap dan pandangan hidup, cita karsa dan kondisi alam lingkungan.  Apabila cita karsanya tinggi dan kuat tetapi kondisi alamnya tidak menunjang, maka bangsa itu tumbuhnya tidak subur (tidak jaya).Tujuan dari penulisan makalah ini sendiri, selain memenuhi kewajiban membuat tugas, adalah untuk memenuhi rasa ingin tahu dan keterkaitan penulis terhadap bab aliran filsafat Rasionalisme,Pragmatisme dan Autoritarianisme.


BAB II BEBERAPA ALIRAN FILSAFAT


Aliran Rasionalisme

·         Defenisi Rasionalisme
Aliran Rasionalisme adalah suatu aliran pemikiran yang muncul dalam era filsafat modern di dunia barat. rasionalisme adalah berasal dari perkataan Latin yaitu “ratio” yang memberi makna “reason” dalam bahasa Inggris. Rasionalisme adalah aliran filsafat yang menekankan rasio,jadi rasionalisme berarti berusaha menghakimi segala sesuatu berdasarkan akal atau pikiran.[1]Kaum rasionalis berupaya untuk tiba pada kebenaran-kebenaran atau prinsip-prinsip pertama yang apodiktis (titik diragukan), prinsip-prinsip ini diketahui kebenarannya hanya melalui nalar, kemampuan berpikir yang sering disebut intuisi.[2]
Ada argumen lain yang menyanggah rasionalisme adalah bahwa nalar hanya mampu menunjukan apa yang mungkin, bukan apa yang nyata. Nalar hanya dapat mengesampingkan keyakinan-keyakinan atau sistem-sistem yang sifatnya memang tidak tetap, akan tetapi orang dihalangi dari mengacu pada pengalaman, jadi tidak mungkin bagi seorang rasionalis untuk menentukan mana yang sebetulnya benar.[3]
Bentukan kata lain dari kata rasio adalah rasionalisasi yang memiliki dua makna umum, yaitu:
1.Makna positif, yaitu membuat rasional (masuk akal) atau membuat sesuatu dengan akal budi atau menjadi masuk akal.
2.Arti negatif, yaitu pembenaran berdasarkan motif-motif tersembunyi.
Adapun rasionalisme adalah prinsip bahwa akal harus diberi peranan utama dalam menjelaskan sesuatu. Secara umum kata rasionalisme menunjuk pada pendekatan filosofis yang menekankan akal budi (rasio) sebagai sumber utama pengetahuan.[4]
Akhyar Yusuf Lubis yang mengutip pemikiran Lorens Bagus membagi enam pokok ajaran rasionalisme sebagai berikut[5] :
1.      Rasionalisme percaya bahwa melalui proses pemikiran abstrak kita dapat mencapai kebenaran fundamental, yang tidak dapat disangkal, mengenai apa yang ada serta strukturnya dan tentang alam semesta pada umumnya.
2.      Rasionalisme percaya bahwa realitas serta beberapa kebenaran tentang realitas dapat dicapai tanpa menggunakan metode empiris.
3.      Rasionalisme percaya bahwa pikiran mampu mengetahui beberapa kebenaran tentang realitas, mendahului pengalaman apapun juga. Pengetahuan yang diperoleh tanpa pengalaman disebut dengan pengetahuan  priori.
4.      Rasionalisme percaya bahwa akal budi adalah sumber pengetahuan yang utama. Menggunakan sistem deduksi yang dapat dipahami secara rasional yang hanya secara tidak langsung berhubungan dengan pengalaman indrawi.
5.      Rasionalisme percaya bahwa kebenaran tidak diuji melalui verifikasi indrawi, akan tetapi melalui kriteria konsistensi logis. Kaum Rasionalisme menentukan kebenaran yang didasarkan atas konsistensi antara pernyataan yang satu dengan pernyataan yang lain atau kesesuaian antara pernyataan (teori) dengan kesepakatan (konsesus) para ilmuwan.
6.      Rasionalisme percaya bahwa alam semesta (realitas) mengikuti hukum-hukum alam yang rasional, karena alam semesta adalah sistem yang dirancang secara rasional, yang aturan-aturannya sesuai dengan logika/matematika.
Dalam paradigma Iman Kristen, para reformator abad keenam belas dikuasai oleh minat terhadap Allah. Mereka mengambil titik tolak mereka, yakni tindakan Allah di dalam Kristus, sebagaimana yang disaksikan oleh Alkitab. Dari pola itu mereka dapat melangkah untuk memikirkan tentang dunia.[6] Berbeda pada abad ketujuh belas orang-orang rasionalis tidak terlalu terpikat terhadap Allah melainkan terhadap dunia.
·         Tokoh-tokoh Rasionalisme
1.      Rene Descartes
A.    Pemikiran Rene Descartes
Descartes dianggap sebagai bapak aliran filsafat modern. Ia merupakan filosof yang ajaran filsafatnya sangat populer, karena pandangannya yang tidak pernah goyah, tentang kebenaran tertinggi berada pada akal atau rasio manusia. Descartes menjelaskan kebenaran melalui metode keragu-raguan.
 Dalam karyanya Anaxemens Discourse on Methode ada 4 hal yang harus diperhatikan sebagai berikut :
-          Kebenaran baru dinyatakan sahih jika benar-benar indrawi dan realitasnya telah jelas dan tegas (clearly and distincictly), sehingga tidak ada keraguan apapun yang mampu merobohkannya.
-          Pecahkanlah setiap kesulitan atau masalah sampai sebanyak mungkin sehingga tidak ada keraguan apapun yang mampu merobohkannya.
-          Bimbinglah pikiran dengan teratur (mulai dari yang sederhana atau mudah diketahui sampai hal yang paling sulit atau kompleks).
-          Pencarian dan pemeriksaan harus dibuat dengan perhitungan yang sempurna serta mempertimbangkan secara menyeluruh sehingga diperoleh keyakinan bahwa tidak ada satupun yang terabaikan atau terlewatkan.
B.     Iman Kristen menurut Descartes
Descartes tertarik akan Allah bukan demi kepentingannya sendiri, melainkan demi kepentingan dunia. Allah menurutnya, sebagai suatu deus ex machina yang menjamin keabsahan pikiran-pikiran tentang dunia. Terpisah dari hal itu Dia selamanya hanya berdiri di samping panggung. Tidaklah mengherankan, pada saat para filsuf kemudian ikut bersama-sama memakai pra-anggapan Descartes tetapi bukan metoden-metodenya.
Kelemahan dalam perspektif Iman Kristen, bahwa Descartes tidak terlalu mementingkan penggunaan hati  nurani sebagai titik tolak anugerah Allah terhadap penjelasan-penjelasan yang ada. Penggunaan penalaran (rasio) hanyalah bagian kecil. Hati nurani merupakan kesadaran pribadi dalam diri manusia untuk memperoleh kebenaran yang utama dan pertama, tetapi bagi Descartes ditempatkan dalam kebenaran yang terakhir.[7]
2.      De Spinoza
A.    Pemikiran De Spinoza
Baruch Spinoza atau Benedictus de Spinoza merupakan salah satu pengikut pemikiran Descartes yang menjadikan substansi sebagai tema pokok dalam metafisika yang sampai saat ini dikenal dengan mazhab rasionalisme. Spinoza menjawab pertanyaan-pertannyaan kebenaran dengan tentang sesuatu, menggunakan metode deduksi matematis yang meletakkan definisi aksioma, proposisi, kemudian berulang membuat pembuktian atau menyimpulkan.[8]
Seperti Descartes, Spinoza juga mengatakan bahwa kebenaran itu terpusat pada pemikiran dan keluasaan. Pemikiran adalah jiwa, sedangkan keluasaan adalah tubuh yang eksistensinya berbarengan.
B.     Iman Kristen menurut Spinoza
Bagi Spinoza hanya ada satu substansi, yaitu Tuhan. Dan satu substansi ini meliputi baik dunia maupun manusia. Itulah sebabnya pendirian Spinoza disebut penteisme yang rasional, Tuhan disamakan dengan segala sesuatu yang ada. Spinoza juga beranggapan bahwa satu substansi itu mempunyai ciri-ciri yang tak terhingga jumlahnya. Namun demkikian kita hanya mengenal dua ciri saja, pemikiran dan keluasan. Pada manusialah kedua ciri tersebut terdapat bersama-sama pemikiran (jiwa) dan serentak juga keluasan tubuh.
Apa yang coba Spinoza buktikan adalah hanya ada satu subtansi, dan subtansi ini dapat dipandang sebagai Allah atau alam. Sebab apa saja yang ada, berada di dalam Allah, dan tanpa Allah tidak ada sesuatupun dipahami atau dapat dipahami. Spinoza juga segera memberikan suatu argumen yang lain yakni Allah tidak berada di luar alam melainkan di dalam alam. Allah adalah penyebab yang selalu ada dan bukan penyebab sementara segala sesuatu.[9]


Aliran Pragmatis

·         Defenisi Pragmatis
Aliran pragmatisme lahir di Amerika, sehingga sering dipandang sebagai filsafat Amerika asli. Namun, sebenarnya pragmatisme berpangkal pada filsafat empirisme Inggris.  Pendiri filsafat pragmatisme adalah Charles Sanders Peirce, William James dan John Dewey.[10]
Istilah pragmatisme berasal dari kata pragma, yang berarti praktek atau aku berbuat. Maksudnya bahwa makna segala sesuatu tergantung dari hubungannya dengan apa yang dapat dilakukan, pragmatis telah dikemukakan sebagai metode untuk menentukan argumen asli dari antara argumen-argumen yang hanya verbal. Inti pragmatisme adalah interpretasi ulang yang radikal atas sifat-sifat pengetahuan.[11]
Secara sederhana, pragmatisme adalah aliran dalam filsafat yang berpandangan bahwa kriteria kebenaran sesuatu ialah apakah sesuatu itu memiliki kegunaan bagi kehidupan nyata.  Oleh karena itu, sifat kebenaran menjadi relatif dan tidak mutlak. Mungkin suatu peraturan sama sekali tidak memberikan manfaat bagi masyarakat tertentu, tetapi terbukti bermanfaat bagi masyarakat yang lain.  Dengan kata lain, pragmatisme tidak mempersoalkan tentang apa hakikat pengetahuan, melainkan menanyakan apa guna pengetahuan tersebut.
·         TOKOH ALIRAN PRAGMATISME
1.      Charles Sanders Peirce (1839-1914)
Pragmatisme Peirce dilandasi oleh fisika dan matematika , serta logika simbolik . Peirce menyatakan bahwa yang penting adalah pengaruh apa yang dapat dilakukan sebuah pengetahuan dalam suatu rencana. Nilai dari suatu pengetahuan bergantung pada penerapannya yang nyata dalam masyarakat. Pengetahuan yang dimiliki manusia dikatakan benar bukan karena pengetahuan itu mencerminkan kenyataan, melainkan dikatakan benar kalau dapat membuktikan manfaatnya bagi umum.  Pragmatisme Peirce ini disebut eksperimentalisme.[12]
2.      William James (1842-1910)
William James adalah seorang profesor di Harvard University. Pragmatisme James adalah personal, psikologis, dan bahkan religius.  Pragmatisme James disebut juga praktikalisme.[13]  Menurut James, teori merupakan alat untuk memecahkan masalah. Karena itu, teori harus dinilai berdasarkan keberhasilannya menjalankan fungsinya. Tidak ada kebenaran yang mutlak, yang berlaku umum, bersifat tetap dan berdiri sendiri. Kebenaran itu akan selalu berubah, sejalan dengan perkembangan pengalaman, karena apa yang dikatakan benar dapat dikoreksi pada pengalaman selanjutnya.[14]
3.      John Dewey (1859-1952)
Pragmatisme Dewey dilandasi oleh sains-sains sosial dan biologi.  Dewey memiliki pandangan yang disebut instrumentalisme. Menurut Dewey, berpikir ilmiah merupakan alat untuk memecahkan masalah. Pengalaman manusia membentuk aktivitas untuk memperoleh pengetahuan. Manusia tidak hanya berpikir biasa, melainkan berpikir secara reflektif. Reflective thinking akan terjadi apabila kita menghadapi masalah. Pikiran/akal kita gunakan sebagai alat untuk memecahkan masalah tersebut, sehingga memperoleh pengetahuan. Eksperimen adalah bagian pokok dalam proses pengetahuan.[15]
Dewey menerapkannya ke dalam proses pendidikan. Ia mengembangkan metode problem solving (metode pemecahan masalah). Dalam problem solving tersebut, peserta didik diajak untuk berpikir ilmiah dengan tahap: anak menghadapi masalah, menganalisis masalah, menyusun hipotesis, mengumpulkan data, menganalisis hipotesis, menguji, mencoba dan membuktikan.
·         Kekurangan dari Aliran Pragmatisme.[16]
1.      Pragmatisme membutuhkan pengehentian penggunaan landasan-landasan obyektif untuk menguji keyakinan.
2.      Pragmatisme memeliki pandangan yang terlalu terbatas tentang sifat pengetahuan. Hanya pengetahuan praktis yang dianggap sebagai pengetahuan yang benar.
3.      Pragmatisme hanya mengakui metodologi ilmu alam sebagai metodologi yang sah.
4.      Pragmatisme mengemukakan teori tentang kebenaran yang menurut banyak filsuf tidak benar. Pragmatisme menyatakan bahwa kebenaran didefinisikan sebagai apa yang berguna,apa yang berfungsi, atau apa yang memeliki hasil praktis yang baik.

Aliran Autoritarianisme


Aliran ini menjelaskan bahwa sumber yang paling umum dari keyakinan kita adalah kesaksian orang lain. dengan menerima keyakinan keluarga, guru dan teman-teman kita, bahkan sebagian besar pengetahuan kita tergantung pada kesaksian yang ada dalam buku-buku,surat kabar,radio, televisi,dll. Kita menerima keyakinan sebagai hal yang benar ketika kita merasa bahwa sumbernya baik.[17]
Iman adalah sumber sangat penting dalam pengetahuan.[18]
1.      Sebagai individu kita dibatasi baik oleh waktu maupun ruang, kita tidak mempunyai hubungan langsung dengan kejadian-kejadian pada abad-abad sebelumnya. Jika kita ingin mengetahuinya kita harus bergantung pada kesaksian orang lain.
2.      Kita memiliki kecenderungan  prima facie untuk menerima kesaksian orang lain, kita cenderung mempercayai apa yang disampaikan pada kita kecuali ada alasan yang jelas untuk mencurigai kejujuran atau kompetensi sumber kita.
Walaupun  Autoritarianisme memang perlu dan berguna, ia tidak dapat berfungsi sebagai satu-satunya kriteria untuk membenarkan pengetahuan, ada dua alasan yang meyakinkan untuk hal itu:[19]
1.      Kemustahilan Otoritas sebagai kriteria utama
Selalu bisa saja kita bertanya mengapa kita harus peraya pada suatu otoritas, untuk mendukung otoritas utama,orang dapat mengacu kepada otoritas kedua, akan tetapi bisa saja orang meragukan otoritas kedutan dan berikutnya yang mungkin dijadikan acuan, karena itu harus mengacu pada sesuatu selain ototritas
2.      Konflik otoritas
Ketidaksepakatan otoritas menyebabkan timbulnya pandangan yang saling berlawanan dan tidak selaras.
Ada tiga cara untuk mengukur otoritas.[20]
·         Martabat sumber otoritas
·         Jumlah orang yang berpegang pada keyakinan
·         Ketahanan keyakinan tersebut.

 

BAB III ANALISA TERHADAP 3 ALIRAN FILSFAT TERSEBUT



1.      Aliran Rasionalisme

Dari pengertian dan pembahasan mengenai Rasionalisme, penulis sendiri tidak begitu sepenuhnya setuju dengan paham tersebut, paham tersebut ada benarnya karena bagaimana sesuatu itu dapat dinyatakan benar kalau tidak dapat dipikirkan secara rasio artinya sesuatu itu ada jika ada dalam pemikiran, dan itu berarti bahwa rasio juga merupakan tolak ukur untuk menentukan suatu kebenaran, akan tetapi tidak semua dapat memakai rasio untuk menjelaskan sesuatu yang supranatural, dalam hal ini berkaitan dengan iman kristiani contoh: kebenaran mengenai Yesus Kristus yang lahir dari seorang wanita yang masih perawan, rasio tidak dapat menjelaskan kebenaran tersebut.

2.      Aliran Pragmatisme

Penulis kurang begitu setuju dengan pemahaman aliran pragmatisme, karena setiap orang mempunyai standar kebenaran masing-masing selama itu menguntungkan bagi orang tersebut tanpa memikir bahwa itu bisa menjadi kerugian atau dosa. Akan tetapi pada sisi lain bahwa pragmatisme merupakan bagian dari natur manusia, manusia akan melakukan apapun selama itu berguna, ini bertentangan dengan apa yang dilakukan Yesus, Yesus mau mati bagi manusia bukan untuk keuntungan diri-Nya sendiri melainkan untuk manusia.

3.      Aliran Autoritarianisme

Menurut penulis bahwa aliran ini begitu baik jika menempatkan Alkitab sebagai otoritas utama dalam menemukan suatu kebenaran, dan pada umumnya aliran ini berhubungan dengan iman Kristen karena iman kepada Yesus juga merupakan kesaksian dari Alkitab melalui Rasul-rasul yang dalam dunia perjanjian Baru, akan tetapi aliran ini bisa salah jika hanya diukur dari jumlah orang yang berpegang pada keyakinan, artinya sesuatu akan benar jika banyak orang yang meyakini hal tersebut.
Jadi aliran filsafat bukanlah menjadi sesuatu yang salah jika didasari dengan iman kristen yang benar dan tepat, setiap aliran filsafat mempunyai kelebihan dan kekurangan masing-masing.


DAFTAR PUSTAKA


Akhyar Yusuf Lubis. Filsafat Ilmu : Klasik hingga Kontemporer. Jakarta: Rajawali Press, 2016.
Brown, Colin. Filsafat & Iman Kristen. Surabaya: Momentum, 1994.
Kamus Filsafat. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2002.
Norman L. Geisler, dan Paul D. Feinberg. Filsafat dari Perspektif Kristiani. Gandum Mas: Malang, 2013.
Salam Burhanuddin. Logika Materiil Filsafat Ilmu Pengetahuan. Jakarta: Rineka cipta, 1997.
Tim Dosen Fakulstas Filsafat UGM. Filsafat Ilmu. Yogyakarta: Liberty, 2003.
Uyoh Sadulloh. Pengantar Filsafat Pendidikan. Bandung: Alfabeta, n.d.
Woodhouse, Mark B. Berfilsafat: sebuah langkah awal. Kanisius, 2000.




[1] Colin Brown, Filsafat & Iman Kristen (Surabaya: Momentum, 1994),63.
[2] Norman L. Geisler dan Paul D. Feinberg, Filsafat dari Perspektif Kristiani (Malang: Gandum Mas, 2013),115.
[3] Ibid,117.
[4] Lorens Bagus, Kamus Filsafat  (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2002),928-929.
[5] Akhyar Yusuf Lubis, Filsafat Ilmu : Klasik hingga Kontemporer (Jakarta: Rajawali Press, 2016).
[6] Brown, Filsafat & Iman Kristen,64.
[7] Ibid,68.
[8] Mark B Woodhouse, Berfilsafat: sebuah langkah awal (Kanisius, 2000),204.
[9] Brown, Filsafat & Iman Kristen,73.
[10] Uyoh Sadulloh, Pengantar Filsafat Pendidikan (Bandung: Alfabeta, 2013.)118.
[11] Norman L. Geisler dan Paul D. Feinberg, Filsafat dari Perspektif Kristiani, 121.
[12] Tim Dosen Fakulstas Filsafat UGM, Filsafat Ilmu (Yogyakarta: Liberty, 2003).
[13] Uyoh Sadulloh, Pengantar Filsafat Pendidikan, 118.
[14] Salam Burhanuddin, Logika Materiil Filsafat Ilmu Pengetahuan (Jakarta: Rineka cipta, 1997)202-203.
[15] Ibid,203.
[16] Norman L. Geisler dan Paul D. Feinberg, Filsafat dari Perspektif Kristiani,122.
[17] Ibid,108.
[18] Ibid,108.
[19] Ibid,108-109.
[20] Ibid,109.

No comments:

Post a Comment