3 Aliran Filsafat : Rasionalisme, Pragmatisme, Autoritarianisme
Disusun Oleh : Nusye B Manuputty
STT Berea Salatiga |
BAB I PENDAHULUAN
Pembahasan
aliran – aliran filsafat merupakan penelahan salah satu aspek sekaligus
menyangkut dengan faham dan pandangan para ahli pikir dan filosuf. Dari kajian
ini para ahli melihat sesuatu atau menyeluruh, mendalam dan sistematis. Para
filsus menggunakan sudut pandang yang berbeda sehingga menghasilkan filsafat
yang berbeda pula. Antara aliran atau paham satu dengan yang lainnya, ada yang
saling bertentangan dan ada pula yang memiliki konsep dasar yang sama. Akan
tetapi meskipun bertentangan, bukanlah untuk saling dipertentangkan. Justru
dengan banyak aliran atau paham yang sudah diperkenalkan oleh tokoh – tokoh
filsafat, kita dapat memilih cara yang pas dengan persoalan yang sedang kita
hadapi.
Memahami sistem
filsafat sesungguhnya menelusuri dan
mengkaji suatu pemikiran mendasar dan tertua yang mengawali kebudayaan manusia. Suatu sistem,
filsafat berkembang berdasarkan ajaran seorang atau beberapa orang tokoh
pemikir filsafat. Sistem filsafat sebagai suatu masyarakat atau bangsa. Sistem
filsafat amat ditentukan oleh potensi dan kondisi masyarakat atau bangsa itu,
tegasnya oleh kerja sama faktor dalam dan faktor luar. Faktor-faktor ini di
antaranya yang utama ialah sikap dan pandangan hidup, cita karsa dan kondisi
alam lingkungan. Apabila cita karsanya
tinggi dan kuat tetapi kondisi alamnya tidak menunjang, maka bangsa itu
tumbuhnya tidak subur (tidak jaya).Tujuan dari penulisan makalah ini sendiri,
selain memenuhi kewajiban membuat tugas, adalah untuk memenuhi rasa ingin tahu
dan keterkaitan penulis terhadap bab aliran filsafat Rasionalisme,Pragmatisme
dan Autoritarianisme.
BAB II BEBERAPA ALIRAN FILSAFAT
Aliran Rasionalisme
·
Defenisi
Rasionalisme
Aliran
Rasionalisme adalah suatu aliran pemikiran yang muncul dalam era filsafat
modern di dunia barat. rasionalisme adalah berasal dari perkataan Latin yaitu
“ratio” yang memberi makna “reason” dalam bahasa Inggris. Rasionalisme adalah
aliran filsafat yang menekankan rasio,jadi rasionalisme berarti berusaha
menghakimi segala sesuatu berdasarkan akal atau pikiran.[1]Kaum
rasionalis berupaya untuk tiba pada kebenaran-kebenaran atau prinsip-prinsip
pertama yang apodiktis (titik diragukan), prinsip-prinsip ini diketahui
kebenarannya hanya melalui nalar, kemampuan berpikir yang sering disebut
intuisi.[2]
Ada argumen lain
yang menyanggah rasionalisme adalah bahwa nalar hanya mampu menunjukan apa yang
mungkin, bukan apa yang nyata. Nalar hanya dapat mengesampingkan
keyakinan-keyakinan atau sistem-sistem yang sifatnya memang tidak tetap, akan
tetapi orang dihalangi dari mengacu pada pengalaman, jadi tidak mungkin bagi
seorang rasionalis untuk menentukan mana yang sebetulnya benar.[3]
Bentukan kata
lain dari kata rasio adalah rasionalisasi yang memiliki dua makna umum, yaitu:
1.Makna positif,
yaitu membuat rasional (masuk akal) atau membuat sesuatu dengan akal budi atau
menjadi masuk akal.
2.Arti negatif,
yaitu pembenaran berdasarkan motif-motif tersembunyi.
Adapun
rasionalisme adalah prinsip bahwa akal harus diberi peranan utama dalam
menjelaskan sesuatu. Secara umum kata rasionalisme menunjuk pada pendekatan filosofis
yang menekankan akal budi (rasio) sebagai sumber utama pengetahuan.[4]
Akhyar Yusuf
Lubis yang mengutip pemikiran Lorens Bagus membagi enam pokok ajaran
rasionalisme sebagai berikut[5]
:
1.
Rasionalisme percaya bahwa melalui proses
pemikiran abstrak kita dapat mencapai kebenaran fundamental, yang tidak dapat
disangkal, mengenai apa yang ada serta strukturnya dan tentang alam semesta
pada umumnya.
2.
Rasionalisme percaya bahwa realitas serta
beberapa kebenaran tentang realitas dapat dicapai tanpa menggunakan metode
empiris.
3.
Rasionalisme percaya bahwa pikiran mampu
mengetahui beberapa kebenaran tentang realitas, mendahului pengalaman apapun
juga. Pengetahuan yang diperoleh tanpa pengalaman disebut dengan pengetahuan priori.
4.
Rasionalisme percaya bahwa akal budi adalah
sumber pengetahuan yang utama. Menggunakan sistem deduksi yang dapat dipahami
secara rasional yang hanya secara tidak langsung berhubungan dengan pengalaman
indrawi.
5.
Rasionalisme percaya bahwa kebenaran tidak diuji
melalui verifikasi indrawi, akan tetapi melalui kriteria konsistensi logis.
Kaum Rasionalisme menentukan kebenaran yang didasarkan atas konsistensi antara
pernyataan yang satu dengan pernyataan yang lain atau kesesuaian antara
pernyataan (teori) dengan kesepakatan (konsesus) para ilmuwan.
6.
Rasionalisme percaya bahwa alam semesta
(realitas) mengikuti hukum-hukum alam yang rasional, karena alam semesta adalah
sistem yang dirancang secara rasional, yang aturan-aturannya sesuai dengan
logika/matematika.
Dalam paradigma
Iman Kristen, para reformator abad keenam belas dikuasai oleh minat terhadap
Allah. Mereka mengambil titik tolak mereka, yakni tindakan Allah di dalam
Kristus, sebagaimana yang disaksikan oleh Alkitab. Dari pola itu mereka dapat melangkah
untuk memikirkan tentang dunia.[6]
Berbeda pada abad ketujuh belas orang-orang rasionalis tidak terlalu terpikat
terhadap Allah melainkan terhadap dunia.
·
Tokoh-tokoh
Rasionalisme
1.
Rene Descartes
A.
Pemikiran Rene Descartes
Descartes
dianggap sebagai bapak aliran filsafat modern. Ia merupakan filosof yang ajaran
filsafatnya sangat populer, karena pandangannya yang tidak pernah goyah,
tentang kebenaran tertinggi berada pada akal atau rasio manusia. Descartes
menjelaskan kebenaran melalui metode keragu-raguan.
Dalam karyanya Anaxemens Discourse on Methode
ada 4 hal yang harus diperhatikan sebagai berikut :
-
Kebenaran baru dinyatakan sahih jika benar-benar
indrawi dan realitasnya telah jelas dan tegas (clearly and distincictly),
sehingga tidak ada keraguan apapun yang mampu merobohkannya.
-
Pecahkanlah setiap kesulitan atau masalah sampai
sebanyak mungkin sehingga tidak ada keraguan apapun yang mampu merobohkannya.
-
Bimbinglah pikiran dengan teratur (mulai dari
yang sederhana atau mudah diketahui sampai hal yang paling sulit atau
kompleks).
-
Pencarian dan pemeriksaan harus dibuat dengan
perhitungan yang sempurna serta mempertimbangkan secara menyeluruh sehingga
diperoleh keyakinan bahwa tidak ada satupun yang terabaikan atau terlewatkan.
B.
Iman Kristen menurut Descartes
Descartes
tertarik akan Allah bukan demi kepentingannya sendiri, melainkan demi
kepentingan dunia. Allah menurutnya, sebagai suatu deus ex machina yang
menjamin keabsahan pikiran-pikiran tentang dunia. Terpisah dari hal itu Dia
selamanya hanya berdiri di samping panggung. Tidaklah mengherankan, pada saat
para filsuf kemudian ikut bersama-sama memakai pra-anggapan Descartes tetapi
bukan metoden-metodenya.
Kelemahan dalam perspektif Iman
Kristen, bahwa Descartes tidak terlalu mementingkan penggunaan hati nurani sebagai titik tolak anugerah Allah
terhadap penjelasan-penjelasan yang ada. Penggunaan penalaran (rasio) hanyalah
bagian kecil. Hati nurani merupakan kesadaran pribadi dalam diri manusia untuk
memperoleh kebenaran yang utama dan pertama, tetapi bagi Descartes ditempatkan
dalam kebenaran yang terakhir.[7]
2.
De Spinoza
A.
Pemikiran De Spinoza
Baruch Spinoza
atau Benedictus de Spinoza merupakan salah satu pengikut pemikiran Descartes
yang menjadikan substansi sebagai tema pokok dalam metafisika yang sampai saat
ini dikenal dengan mazhab rasionalisme. Spinoza menjawab pertanyaan-pertannyaan
kebenaran dengan tentang sesuatu, menggunakan metode deduksi matematis yang
meletakkan definisi aksioma, proposisi, kemudian berulang membuat pembuktian
atau menyimpulkan.[8]
Seperti
Descartes, Spinoza juga mengatakan bahwa kebenaran itu terpusat pada pemikiran
dan keluasaan. Pemikiran adalah jiwa, sedangkan keluasaan adalah tubuh yang
eksistensinya berbarengan.
B.
Iman Kristen menurut Spinoza
Bagi Spinoza
hanya ada satu substansi, yaitu Tuhan. Dan satu substansi ini meliputi baik
dunia maupun manusia. Itulah sebabnya pendirian Spinoza disebut penteisme yang
rasional, Tuhan disamakan dengan segala sesuatu yang ada. Spinoza juga
beranggapan bahwa satu substansi itu mempunyai ciri-ciri yang tak terhingga
jumlahnya. Namun demkikian kita hanya mengenal dua ciri saja, pemikiran dan
keluasan. Pada manusialah kedua ciri tersebut terdapat bersama-sama pemikiran
(jiwa) dan serentak juga keluasan tubuh.
Apa yang coba
Spinoza buktikan adalah hanya ada satu subtansi, dan subtansi ini dapat
dipandang sebagai Allah atau alam. Sebab apa saja yang ada, berada di dalam
Allah, dan tanpa Allah tidak ada sesuatupun dipahami atau dapat dipahami.
Spinoza juga segera memberikan suatu argumen yang lain yakni Allah tidak berada
di luar alam melainkan di dalam alam. Allah adalah penyebab yang selalu ada dan
bukan penyebab sementara segala sesuatu.[9]
Aliran Pragmatis
·
Defenisi
Pragmatis
Aliran
pragmatisme lahir di Amerika, sehingga sering dipandang sebagai filsafat
Amerika asli. Namun, sebenarnya pragmatisme berpangkal pada filsafat empirisme
Inggris. Pendiri filsafat pragmatisme
adalah Charles Sanders Peirce, William James dan John Dewey.[10]
Istilah
pragmatisme berasal dari kata pragma, yang berarti praktek atau aku berbuat.
Maksudnya bahwa makna segala sesuatu tergantung dari hubungannya dengan apa
yang dapat dilakukan, pragmatis telah dikemukakan sebagai metode untuk
menentukan argumen asli dari antara argumen-argumen yang hanya verbal. Inti
pragmatisme adalah interpretasi ulang yang radikal atas sifat-sifat
pengetahuan.[11]
Secara
sederhana, pragmatisme adalah aliran dalam filsafat yang berpandangan bahwa
kriteria kebenaran sesuatu ialah apakah sesuatu itu memiliki kegunaan bagi
kehidupan nyata. Oleh karena itu, sifat
kebenaran menjadi relatif dan tidak mutlak. Mungkin suatu peraturan sama sekali
tidak memberikan manfaat bagi masyarakat tertentu, tetapi terbukti bermanfaat
bagi masyarakat yang lain. Dengan kata
lain, pragmatisme tidak mempersoalkan tentang apa hakikat pengetahuan,
melainkan menanyakan apa guna pengetahuan tersebut.
·
TOKOH
ALIRAN PRAGMATISME
1.
Charles Sanders Peirce (1839-1914)
Pragmatisme
Peirce dilandasi oleh fisika dan matematika , serta logika simbolik . Peirce
menyatakan bahwa yang penting adalah pengaruh apa yang dapat dilakukan sebuah
pengetahuan dalam suatu rencana. Nilai dari suatu pengetahuan bergantung pada penerapannya
yang nyata dalam masyarakat. Pengetahuan yang dimiliki manusia dikatakan benar
bukan karena pengetahuan itu mencerminkan kenyataan, melainkan dikatakan benar
kalau dapat membuktikan manfaatnya bagi umum.
Pragmatisme Peirce ini disebut eksperimentalisme.[12]
2.
William James (1842-1910)
William James
adalah seorang profesor di Harvard University. Pragmatisme James adalah
personal, psikologis, dan bahkan religius.
Pragmatisme James disebut juga praktikalisme.[13] Menurut James, teori merupakan alat untuk
memecahkan masalah. Karena itu, teori harus dinilai berdasarkan keberhasilannya
menjalankan fungsinya. Tidak ada kebenaran yang mutlak, yang berlaku umum,
bersifat tetap dan berdiri sendiri. Kebenaran itu akan selalu berubah, sejalan
dengan perkembangan pengalaman, karena apa yang dikatakan benar dapat dikoreksi
pada pengalaman selanjutnya.[14]
3.
John Dewey (1859-1952)
Pragmatisme
Dewey dilandasi oleh sains-sains sosial dan biologi. Dewey memiliki pandangan yang disebut
instrumentalisme. Menurut Dewey, berpikir ilmiah merupakan alat untuk
memecahkan masalah. Pengalaman manusia membentuk aktivitas untuk memperoleh
pengetahuan. Manusia tidak hanya berpikir biasa, melainkan berpikir secara
reflektif. Reflective thinking akan terjadi apabila kita menghadapi masalah.
Pikiran/akal kita gunakan sebagai alat untuk memecahkan masalah tersebut,
sehingga memperoleh pengetahuan. Eksperimen adalah bagian pokok dalam proses
pengetahuan.[15]
Dewey
menerapkannya ke dalam proses pendidikan. Ia mengembangkan metode problem
solving (metode pemecahan masalah). Dalam problem solving tersebut, peserta
didik diajak untuk berpikir ilmiah dengan tahap: anak menghadapi masalah,
menganalisis masalah, menyusun hipotesis, mengumpulkan data, menganalisis
hipotesis, menguji, mencoba dan membuktikan.
1.
Pragmatisme membutuhkan pengehentian penggunaan
landasan-landasan obyektif untuk menguji keyakinan.
2.
Pragmatisme memeliki pandangan yang terlalu
terbatas tentang sifat pengetahuan. Hanya pengetahuan praktis yang dianggap
sebagai pengetahuan yang benar.
3.
Pragmatisme hanya mengakui metodologi ilmu alam
sebagai metodologi yang sah.
4.
Pragmatisme mengemukakan teori tentang kebenaran
yang menurut banyak filsuf tidak benar. Pragmatisme menyatakan bahwa kebenaran
didefinisikan sebagai apa yang berguna,apa yang berfungsi, atau apa yang
memeliki hasil praktis yang baik.
Aliran
Autoritarianisme
Aliran ini
menjelaskan bahwa sumber yang paling umum dari keyakinan kita adalah kesaksian orang
lain. dengan menerima keyakinan keluarga, guru dan teman-teman kita, bahkan
sebagian besar pengetahuan kita tergantung pada kesaksian yang ada dalam
buku-buku,surat kabar,radio, televisi,dll. Kita menerima keyakinan sebagai hal
yang benar ketika kita merasa bahwa sumbernya baik.[17]
Iman adalah
sumber sangat penting dalam pengetahuan.[18]
1.
Sebagai individu kita dibatasi baik oleh waktu
maupun ruang, kita tidak mempunyai hubungan langsung dengan kejadian-kejadian
pada abad-abad sebelumnya. Jika kita ingin mengetahuinya kita harus bergantung
pada kesaksian orang lain.
2.
Kita memiliki kecenderungan prima facie untuk menerima kesaksian orang
lain, kita cenderung mempercayai apa yang disampaikan pada kita kecuali ada
alasan yang jelas untuk mencurigai kejujuran atau kompetensi sumber kita.
Walaupun Autoritarianisme memang perlu dan berguna, ia
tidak dapat berfungsi sebagai satu-satunya kriteria untuk membenarkan
pengetahuan, ada dua alasan yang meyakinkan untuk hal itu:[19]
1.
Kemustahilan Otoritas sebagai kriteria utama
Selalu bisa saja
kita bertanya mengapa kita harus peraya pada suatu otoritas, untuk mendukung
otoritas utama,orang dapat mengacu kepada otoritas kedua, akan tetapi bisa saja
orang meragukan otoritas kedutan dan berikutnya yang mungkin dijadikan acuan,
karena itu harus mengacu pada sesuatu selain ototritas
2.
Konflik otoritas
Ketidaksepakatan
otoritas menyebabkan timbulnya pandangan yang saling berlawanan dan tidak
selaras.
Ada tiga cara untuk mengukur
otoritas.[20]
·
Martabat sumber otoritas
·
Jumlah orang yang berpegang pada keyakinan
·
Ketahanan keyakinan tersebut.
BAB III ANALISA TERHADAP 3 ALIRAN FILSFAT
TERSEBUT
1.
Aliran Rasionalisme
Dari pengertian
dan pembahasan mengenai Rasionalisme, penulis sendiri tidak begitu sepenuhnya
setuju dengan paham tersebut, paham tersebut ada benarnya karena bagaimana
sesuatu itu dapat dinyatakan benar kalau tidak dapat dipikirkan secara rasio
artinya sesuatu itu ada jika ada dalam pemikiran, dan itu berarti bahwa rasio
juga merupakan tolak ukur untuk menentukan suatu kebenaran, akan tetapi tidak
semua dapat memakai rasio untuk menjelaskan sesuatu yang supranatural, dalam
hal ini berkaitan dengan iman kristiani contoh: kebenaran mengenai Yesus
Kristus yang lahir dari seorang wanita yang masih perawan, rasio tidak dapat
menjelaskan kebenaran tersebut.
2.
Aliran Pragmatisme
Penulis kurang
begitu setuju dengan pemahaman aliran pragmatisme, karena setiap orang
mempunyai standar kebenaran masing-masing selama itu menguntungkan bagi orang
tersebut tanpa memikir bahwa itu bisa menjadi kerugian atau dosa. Akan tetapi
pada sisi lain bahwa pragmatisme merupakan bagian dari natur manusia, manusia
akan melakukan apapun selama itu berguna, ini bertentangan dengan apa yang
dilakukan Yesus, Yesus mau mati bagi manusia bukan untuk keuntungan diri-Nya sendiri
melainkan untuk manusia.
3.
Aliran Autoritarianisme
Menurut penulis
bahwa aliran ini begitu baik jika menempatkan Alkitab sebagai otoritas utama
dalam menemukan suatu kebenaran, dan pada umumnya aliran ini berhubungan dengan
iman Kristen karena iman kepada Yesus juga merupakan kesaksian dari Alkitab
melalui Rasul-rasul yang dalam dunia perjanjian Baru, akan tetapi aliran ini
bisa salah jika hanya diukur dari jumlah orang yang berpegang pada keyakinan,
artinya sesuatu akan benar jika banyak orang yang meyakini hal tersebut.
Jadi aliran
filsafat bukanlah menjadi sesuatu yang salah jika didasari dengan iman kristen
yang benar dan tepat, setiap aliran filsafat mempunyai kelebihan dan kekurangan
masing-masing.
DAFTAR PUSTAKA
Akhyar Yusuf Lubis. Filsafat
Ilmu : Klasik hingga Kontemporer. Jakarta: Rajawali Press, 2016.
Brown, Colin. Filsafat & Iman Kristen. Surabaya:
Momentum, 1994.
Kamus Filsafat. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2002.
Norman L. Geisler, dan Paul D. Feinberg. Filsafat dari
Perspektif Kristiani. Gandum Mas: Malang, 2013.
Salam Burhanuddin. Logika Materiil Filsafat Ilmu
Pengetahuan. Jakarta: Rineka cipta, 1997.
Tim Dosen Fakulstas Filsafat UGM. Filsafat Ilmu.
Yogyakarta: Liberty, 2003.
Uyoh Sadulloh. Pengantar Filsafat Pendidikan.
Bandung: Alfabeta, n.d.
Woodhouse, Mark B. Berfilsafat: sebuah langkah awal.
Kanisius, 2000.
[2]
Norman
L. Geisler dan Paul D. Feinberg, Filsafat dari Perspektif Kristiani
(Malang: Gandum Mas, 2013),115.
[14]
Salam
Burhanuddin, Logika Materiil Filsafat Ilmu Pengetahuan (Jakarta: Rineka
cipta, 1997)202-203.
No comments:
Post a Comment