Friday 14 July 2017

Prinsip Hermeneutik : Cara Menafsirkan surat-surat Kiriman

CARA MENAFSIR SURAT-SURAT KIRIMAN

Eksegesis
(Berpikir Secara Kontekstual dan Paragraf)

Sebagaimana ciri surat pada abad I, SSK juga memiliki bentuk:
-         nama penulis
-         nama penerima
-         salam
-         doa harapan atau ucapan syukur (tidak selalu ada dalam surat-surat PB)
-         tubuh surat
-         salam penutup dan salam perpisahan

 Tugas menafsirkan SSK bukan sesuatu yang mudah.  Alasannya terletak pada sifat SSK yang disebut sebagai dokumen tidak berkala, yaitu dokumen yang muncul karena dan dimaksudkan untuk suatu peristiwa khusus.  Selain itu SSK ditulis pada abad I dan bukan ditujukan untuk kita. 
Oleh karena sifatnya yang tak berkala itu, SSK pertama-tama bukan ditulis sebagai risalah teologi atau teologi sistimatika dari Paulus.  Memang ada teologi di dalamnya yang merupakan teologi tugas, yaitu teologi yang ditulis dan diarahkan pada tugas yang ada.  Namun itupun hanya sebagian dari teologinya.  Contoh dalam I Korintus: masalah kebangkitan tubuh.  Karena sifat SSK demikian, maka pedoman untuk menafsirkannya adalah dengan selalu memperhatikan konteks historis dan konteks sastra.

a. Konteks Historis

Ini mencakup konteks dalam (latar belakang dari segala sesuatu yang dikatakan oleh teks) dan konteks luar (alasan kemunculan surat).  Kedua konteks ini menuntut penyelidikan terhadap keadaan pembaca, penulis, kota, situasi sosial, ekonomi, politik, dll.  Cara mendapatkan informasi ini adalah:
  1. mencari keterangan dari kamus Alkitab, ensiklopedia, buku-buku survey PB, dll.
  2. membaca SSK yang bersangkutan berulang kali untuk mendapatkan gambaran tentang sikap penerima, penulis, alasan penulisan dan pembagian yang wajar dari surat.  Tidak ada hal lain yang dapat menggantikan tugas membaca ini.

b. Konteks Sastra

Membaca sambil berpikir secara paragraf  adalah syarat untuk mengetahui konteks sastra SSK.  Khususnya I Korintus, SSK berisi pokok-pokok pembicaraan yang berbentuk paragraph.  Caranya adalah dengan selalu menanyakan  apa isi/maksud penulis  dalam paragraph ini?

Eksposisi


Bagaimana menerapkan hasil eksegesis surat kiriman yang ditulis abad 1 pada abad 21 ini dengan konteks kehidupan  yang jauh berbeda dan bermacam-macam.  Ingat selalu pada dua peraturan.
Peraturan dasar : suatu teks tidak dapat mempunyai arti yang tidak pernah dimaksudkan oleh penulis dan pembacanyaDengan kata lain : setiap teks selalu dimengerti oleh pembaca dan penulis.  Oleh sebab itu eksegesis sangat perlu, sebab penyelidikan teks harus dimulai dari there (di sana) and then/past (dulu), bukan here (di sini) and now (sekarang).  Ini akan mencegah kita untuk membatasi apa yang tidak dimaksudkan teks.
Peraturan kedua: kapan saja kita mengalami fakta-fakta yang sebanding (yaitu situasi kehidupan khusus yng serupa) dengan keadaan abad pertama, maka Firman Allah kepada kita adalah sama dengan FirmanNya pada mereka.  Sekali lagi: eksegesis yang baik akan meyakinkan kita bahwa situasi dan fakta kita akan sebanding dengan mereka.
Pertanyaan: bagaimana jika suatu teks, cth: makan daging yang dipersembahkan pada berhala, dapat diterapkan di luar fakta khusus ini?  Setidaknya ada 4 persoalan yang senada dengan masalah ini.

a. Masalah Penerapan yang Diperluas (jika fakta abad 21 tidak

   ada pada abad 1)

Dapatkah fakta khusus dalam SSK diterapkan secara lebih luas?  Jika terdapat situasi dan fakta yang sebanding di abad maka Firman Allah kepada kita, seharusnya dibatasi oleh maksud mula-mula teks.  Kadang kita tidak tahu persis apa yang dilarang/tidak dimaksud oleh teks.  Namun setidak-tidaknya, kita mengetahui apa yang dimaksud oleh teks.

b. Masalah Fakta-Fakta yang Tidak Sebanding (jika fakta di abad

   1 tidak ada lagi di abad 21)

Kadang-kadang fakta yang terdapat dalan SSK tidak memiliki fakta imbangan sama sekali dengan abad 21.  Cth: di Indonesia, tidak menjadi masalah jika seorang wanita tidak memakai kerudung saat ibadah.  Lalu bagaimana teks ini berbicara pada kita?
Pertama: lakukan eksegesis dengan teliti dan temukan prinsip atau kebenarna kekal, yang biasannya akan melebihi fakta historis dimana prinsip itu diterapkan.  Untuk masalah di atas, kita menemukan prinsip ketundukan pada suami/laki-laki (otoritas yang lebih tinggi)
Kedua: terapkan prinsip itu  pada fakta yang benar-benar sebanding. Dalam situasi/fakta bagaimanakah prinsip ketundukan pada suami dapat diterapkan dalam konteks Indonesia?  Salah satu bentuk ketundukan pada suami ialah tidak menjelek-jelekkan atau membentak suami di depan umum.

c. Persoalan Relativitas Kebudayaan

Inilah letak kesulitan penerapan SSK.  Bagaimana Firman Allah yang kekal dapat diterapkan pada situasi kebudayaan abad 21 yang sangat jauh berbeda dengan abad 1?  Dengan kata lain: bagaimana membedakan yang prinsip (FA yang harus dibawa ke abad 21) dan budaya (yang harus ditinggalkan di abad 1)?
Garis pedoman:
  1. bedakan pokok inti (core) dan masalah  yang bergantung pada pokok itu (margin)
  2. bedakan yang moral/mutlak dan tidak.  Masalah moral berhubungan dengan dosa yang selalu salah.
  3. kesaksian seragam maupun yang berbeda dari teks PB yang lain .  Cth: yang seragam: masalah kasih, salahnya pertengkaran.  Yang tidak seragam: masalah wanita yang boleh melayani (Rom.16:1-2,3,7) dan tidak boleh melayani (I Kor.14:34-35 dan I Tim.2:11-12); masalah politik (Rom.13:1-5, I Pet.2:11-12 dipertentangkan dengan Wahyu pasal 13-18).  Jika ada yang berbeda, selidiki latar belakang masing-masing.  Bisa jadi keduanya ternyata sama/seragam.
  4. bedakan prinsip dan penerapan khusus di PB (budaya)
  5. jika budaya di PB hanya satu-satunya pilihan.  Cth: masalah perbudakan.  Orang Kristen memperlakukan budak, jauh lebih manusiawi ketimbang budaya lain.
  6. berjaga-jaga terhadap perbedaan budaya yang tidak segera tampak.  Cth: tidak mungkin wanita jaman sekarang tidak terlibat dalam pelayanan karena kesempatan pendidikan sekarang jauh lebih terbuka dari pada abad 1.

d. Persoalan Teologi Tugas

Karena SSK adalah dokumen tak berkala dan karena persoalan teologi tugas, maka kita harus puas dengan pengertian teologis kita.  Di luar yang ditegaskan teks, maka segala sesuatu adalah spekulasi semata.

Kadang persoalan muncul karena kita menanyakan pertanyaan-pertanyaan kita pada teks yang karena sifat tak berkalanya hanya dapat menjawab pertanyaan mereka.  Akibatnya kita tidak menemukan jawaban yang memuaskan untuk masalah aborsi, baptisan bayi, merokok, euthanasia.  Cth:  Paulus menghadapi masalah pernikahan kembali dalam lingkungan Yunani yang pada masa Yesus, Ia tidak sempat membicarakannya karena itu di luar budaya Yahudi.  Lalu bagaimana? Telitilah dasar seluruh Alkitab yang meliputi pengertian tentang penciptaan – penyempurnaan akhir.

No comments:

Post a Comment