Pembuktian
Kebangkitan Yesus: Bukti Internal dan Eksternal
Bukti-bukti
Eksternal
Yang dimaksud dengan bukti-bukti eksternal adalah bukti-bukti
yang berasal dari dokumen-dokumen saksi non-primer, yaitu: preservasi
dokumen-dokumen, arkeologi, kesaksian ekstra-biblis dan keterpeliharaan dalam
lingkungan yang rentan.[1]
Preservasi
dokumen-dokumen
Ini berkaitan dengan bukti naskah PB, yang adalah
dokumen-dokumen sumber utama terkait kebangkitan. Sementara kita tidak memiliki
naskah aslinya, bukti naskah PB sangat kuat. Kita tidak hanya memiliki ratusan
naskah yang ditulis sebelum abad kelima (sebagian bahkan abad kedua dan
ketiga), tetapi kita memiliki banyak kutipan dari bapa-bapa gereja mula-mula
yang memadai untuk dapat direkonstruksi menjadi sebagian besar PB. Semua ini
menunjukkan kepada kita bahwa naskah-naskah yang kita baca sekarang secara
mendasar adalah naskah-naskah yang sama seperti diberikan pada awalnya. Walaupun
terdapat perbedaan-perbedaan di antara naskah-naskah yang ada, bahkan Bart
Ehrman mengatakan bahwa tidak ada doktrin utama yang terpengaruh oleh
perbedaan-perbedaan tersebut, dan pada umumnya perbedaan-perbedaan tersebut
tidak penting.
Sebagai tambahan, dan sangat penting, bukti naskah
menunjukkan kepada kita bahwa catatan-catatan injil tentang kebangkitan
semuanya ditulis di dalam sebuah generasi dari kejadian-kejadian yang mereka
catat, memberikan bukti bagi klaim kesaksian saksi-mata mereka. Oleh karena
itu, belum sempat ada waktu untuk munculnya material legendaris.
Arkeologi
Kesaksian arkeologi telah secara kontinu meneguhkan
data-data Kitab Suci. Ketika terdapat keraguan di masa lalu mengenai
catatan-catatan Injil (e.g. tanggal sensus dalam Lukas dan kekuasan Quirinius,
Gubernur Siria, penanggalan Injil Yohanes, dst.), penemuan-penemuan arkeologis
dan historis nampaknya selalu meneguhkan Alkitab menjadi akurat secara
historis.
Arkeolog Yahudi Nelson Glueck mengatakan tentang
Alkitab: “Mungkin dinyatakan secara kategorial bahwa tidak ada satupun penemuan
arkeologis yang telah dipertentangkan dengan referensi alkitabiah. Nilai
penemuan-penemuan arkeologis telah dibuat yang meneguhkan dalam garis besar
yang jelas atau di dalam pernyataan-pernyataan historis yang sangat rinci di
dalam Alkitab. Dan, dengan gagasan yang sama, evaluasi deskripsi-deskripsi yang
tetap telah membawa kepada penemuan-penemuan yang ajaib.[2]
Sir William Ramsay dipandang
sebagai salah satu arkeolog terbesar yang pernah hidup. Sebagai seorang ateis,
ia berniat untuk menggagalkan ketepatan historis Kitab Suci. Namun, setelah
meneliti tulisan-tulisan Lukas (Lukas-Kisah Para Rasul), ia berubah pikiran. Ia
menjadi seorang pembela yang kokoh dari kekristenan dan ketepatan historis
catatan-catatan injil. Mengenai Lukas ia menulis: “Lukas adalah seorang
sejarahwan kelas satu; bukan hanya pernyataan-pernyataannya akan fakta dapat
dipercaya… penulis ini harus ditempatkan di antara sejarahwan-sejarahwan yang
paling besar”.
Selain itu, tidak dapat diabaikan bahwa mayat Yesus
tidak pernah ditemukan. Ini adalah sebuah pokok arkeologi. Digabungkan dengan
pemahaman bahwa kekristenan muncul sangat awal dengan dasar kebangkitan Kristus
dan bahwa terdapat banyak pengejek, bukti arkeologis dari kubur yang kosong
historis adalah penting. Mereka yang menyangkali kebangkitan pada abad pertama
tidak dapat menghadirkan sebuah mayat, demikian juga mereka yang menyangkalinya
di masa sekarang ini. Ini adalah sebuah syarat yang diperlukan untuk
menghadirkan bukti dari keyakinan seperti itu.
Kesaksian
ekstra-biblis
Lebih dari 39 sumber ekstra-biblis menyaksikan lebih
dari 100 fakta berkaitan dengan kehidupan dan pengajaran-pengajaran Yesus. Selain
itu, semua Bapa-bapa Gereja mula-mula (yang kesaksiannya tidak dapat diabaikan
hanya karena mereka percaya Kristus adalah Mesias) adalah sejarahwan-sejarahwan
Yahudi dan juga Romawi. Terdapat banyak tulisan ekstra-biblis dari abad pertama
dan kedua yang menyaksikan fakta bahwa orang-orang Kristgen mempercayai bahwa
Kristus melakukan hal-hal luar biasa, mati di kayu salib, dan bangkit dari
kubur:
Josephus, Clement, Papias, Didache, Barnabas, Justin
Martyr, Ignatius, Irenaeus, Hermas, Tatian, Theophilus, Athenagoras, Clement of
Alexandria.
Dalam
kenyataan, ‘kesaksian ekstra-biblis’ bukanlah istilah yang terbaik untuk
serangkaian bukti ini. Itu seharusnya disebut ‘kesaksian kolaboratif’ karena
bukanlah kesaksian di luar Alkitab atau bahkan Perjanjian Baru yang kita cari,
melakukan bukti kolaboratif (dari banyak orang) di luar dokumen biblis yang
ditaruh di bawah investigasi historis. Oleh karenanya, PB itu sendiri
menyediakan dukungan kolaboratif yang memadai untuk kejadian-kejadian
kebangkitan karena semua 27 dokumen (kitab) harus dilihat sebagai bagian-bagian
dari bukti individual yang berdiri sendiri. Tidak ada alasan, pada titik ini,
untuk meletakkan mereka bersama di dalam corpus
(harf. tubuh) tunggal yang disebut “Perjanjian Baru” dan mengatakan bahwa corpus tersebut harus menemukan dukungan
kolaboratifnya sendiri. Lukas mendukung Markus, Yohanes mendukung Matius.
Paulus mendukung Kisah Para Rasul. Intinya adalah bahwa setiap kitab PB
menyediakan bukti kolaboratif yang kuat untuk historisitas kebangkitan.
Sebagai catatan pinggir, adalah lucu ketika ada
orang-orang yang berkata bahwa orang-orang Kristen harus menghadirkan bukti
‘sekuler’ untuk kebangkitan, dengan mendefinisikan ‘sekuler’sebagai mereka yang
bukan orang-orang percaya. Ini seakan-akan hendak menyatakan bahwa mereka yang
percaya di dalam kebangkitan kurang berbobot daripada mereka yang tidak percaya
kepadanya. Sebaliknya, jika kebangkitan sungguh-sungguh terjadi, maka tentunya
orang-orang yang paling dekat dengan bukti tersebut akan mempercayainya
daripada tidak mempercayainya, walaupun tentu tidak berlaku mutlak. Para penjaga yang ditempatkan di depan kubur
Yesus, saat gempa terjadi dan kubur terbuka dan malaikat datang, tidak menjadi
percaya dan malah menyusun konspirasi dengan para imam kepala dan tua-tua (Mt.
28:11-15).
Keterpeliharan dalam lingkungan yang rentan
Kenyataan bahwa kekristenan telah dengan berhasil melalui
klaim-laim kebenaran publik dan laur biasa itu menghadirkan serangkaian bukti
eksternal. Bahwa kekristenan memiliki penentang-penentang yang menjadi seteru
didukung oleh semua bukti, baik internal maupun eksternal. Para penentang
kekristenan memiliki setiap kesempatan untuk menyingkapkan rekayasa kebangkitan
jika itu benar-benar suatu rekayasa. Kenyataan bahwa mereka yang berseteru
dengan kekristenan tidak dapat, dari dahulu hingga saat ini, menghadirkan kasus
yang substansial atau kompak melawan kekristenan terkait dengan historisitas
kebangkitan.
Menurut Gregory Boyd,
“Christianity was born
in a very hostile environment. There were contemporaries who would have refuted
the Gospel portrait of Jesus—if they could have. The leaders of Judaism in the
first century saw Christianity as a pernicious cult and would have loved to see
it stamped out. And this would have been easy to do—if the ‘cult’ had been
based on fabrications. Why, just bringing forth the body of the slain Jesus
would have been sufficient to extinguish Christianity once and for all. In
spite of this, however, Christianity exploded. . . . Even those who remained
opposed to Christianity did not deny that Jesus did miracles, and did not deny
that His tomb was empty.”[3]
“Kekristenan
lahir di dalam lingkungan yang rawan. Terdapat
orang-orang yang tentu telah menyangkili gambaran injil tentang Yesus – jika
mereka bisa. Para pemimpin Yudaisme pada abad pertama melihat kekristenan
sebagai suatu kultus yang buruk dan tentu akan senang melihatnya disingkirkan.
Dan ini sebenarnya dapat dengan mudah dilakukan – jika ‘kultus’tersebut
didasarkan pada rekayasa-rekayasa. Dengan hanya membawa tubuh Yesus yang
dibunuh akan sangat cukup untuk mematikan kekristenan sekali untuk selamanya.
Namun sebaliknya, kekristenan meledak… Dan mereka yang tetap mementang
kekristenan tidak dapat menyangkali bahwa Yesus melakukan mukjizat-mukjizat,
dan tidak dapat menyangkali bahwa kubur-Nya kosong”.
Teori-teori kebangkitan yang mungkin ada[4]
Terdapat setidaknya 5 teori yang mungkin: kekristenan,
halusinasi, mitos, konspirasi dan pingsan.
1
|
Yesus mati
|
Yesus bangkit
|
Kekristenan
|
2
|
Yesus mati
|
Yesus tidak bangkit — para rasul tertipu
|
Halusinasi
|
3
|
Yesus mati
|
Yesus tidak bangkit — para rasul pembuat mitos
|
Mitos
|
4
|
Yesus mati
|
Yesus tidak bangkit — para rasul penipu
|
Konspirasi
|
5
|
Yesus tidak mati
|
|
Pingsan
|
Teori ke-2 dan ke-4 menghasilkan dilemma: jika Yesus tidak
bangkit, maka para rasul, yang mengajarkan bahwa Ia bangkit, adalah tertipu
(jika mereka berpikir Ia bangkit) atau penipu (jika mereka tahu Ia tidak
bangkit). Orang-orang yang menolak kebangkitan tidak dapat menghindari dilemma
ini hingga mereka tiba pada kategori lain yaitu mitos. Ini adalah alternatif
yang nampaknya paling terkenal sekarang ini.
Itu berarti
kemungkinannya adalah (1) kebangkitan benar-benar terjadi, (2) para rasul
ditipu oleh sebuah halusinasi, (3) para rasul membuat sebuah mitos, tidak
benar-benar terjadi, (4) para rasul adalah penipu-penipu yang berkonspirasi
menghadirkan kepada dunia suatu kebohongan yang paling terkenal dan berhasil,
atau (5) Yesus hanya pingsan dan disadarkan kembali, dan bukan dibangkitkan.
Semua kemungkinan ini masuk akan.
Argumentasi yang dibangun di sini serupa dengan
kebanyakan argumentasi akan keberadaan Allah. Baik Allah maupun kebangkitan
Yesus tidak dapat secara langsung diamati, tetapi dari data yang secara
langsung dapat diamati kita dapat berargumentasi bahwa satu-satunya penjelasan
yang mungkin adalah penjelasan Kristen.
Sanggahan terhadap Teori Pingsan
Ada 8 bukti untuk menyanggah teori pingsan:
(1) Yesus tidak
mungkin terhindar dari penyaliban. Prosedur-prosedur Romawi sangat hati-hati
dalam menghilangkan kemungkinan ini. Hukum Romawi bahkan memberikan hukuman
mati bagi setiap prajurit yang membiarkan tahanan hukuman mati kabur dalam cara
apapun.
(2) Kenyataan bahwa prajurit Romawi tidak mematahkan kaki
Yesus, sebagaimana yang ia lakukan kepada dua orang lainnya (Yoh. 19:31-33)
menunjukkan bahwa prajurit tersebut yakin bahwa Yesus telah mati. Mematahkan
kaki bertujuan untuk mempercepat kematian supaya mayatnya dapat diturunkan
sebelum hari Sabat (ay. 31)
(3) Yohanes, seorang saksi mata, menegaskan bahwa ia melihat
darah dan air mengalir keluar dari lambung Yesus yang ditombak (Yoh. 19:34, 35).
(4) Tubuh-Nya dibungkus kain kafan dan
dikubur (Yoh. 19:38-42).
(5) Penampakan-penampakan pasca kebangkitan menyakinkan para
murid, bahkan Tomas yang tidak percaya, bahwa Yesus hidup (Yoh. 20:19-29). Adalah
mustahil bagi para murid untuk menjadi begitu diubahkan dan yakin teguh jika
Yesus hanya pingsan. Seorang yang setengah mati yang kabur dari hukuman mati
tidak akan disembah sebagai tuhan ilahi dan penakluk kematian.
(6) Bagaimana mungkin penjaga-penjaga Romawi ketakutan
dengan tubuh yang pingsan? Atau oleh murid-murid yang tidak bersenjata?
(7) Bagaimana mungkin seorang setengah mati yang pingsan
dapat menggeser batu besar yang menutup kubur? Siapa yang dapat menggeser batu besar tersebut jika bukan malaikat? Tidak ada yang dapat menjawabnya. Baik
orang-orang Yahudi maupun Romawi tidak mungkin menggeser batu tersebut, karena
niat mereka justru agar kubur tersebut tetap tertutup dan disegel, dan
orang-orang Yahudi menaruh batu tersebut di sana, dan penjaga-penjaga Romawi
akan membunuh-Nya jika Yesus kabur, atau mereka akan dibunuh jika membiarkan
Yesus kabur.
(8) Jika Yesus bangun dari kondisi pingsan, ke mana Ia
pergi? Mengapa lalu hilang? Tidak ada data sama sekali tentang kehidupan Yesus
setelah penyaliban. Seorang pria seperti itu, dengan masa lalu seperti itu,
pastilah meninggalkan jejak-jejak yang dapat ditelusuri.
Sanggahan terhadap Teori Konspirasi
Mengapa mustahil bagi para murid untuk mengarang seluruh
kisah ini?
(1) Blaise Pascal memberikan
sebuah bukti yang sederhana mengapa itu tidak mungkin:
The apostles were either deceived or
deceivers. Either supposition is difficult, for it is not possible to imagine
that a man has risen from the dead. While Jesus was with them, he could sustain
them; but afterwards, if he did not appear to them, who did make them act? The
hypothesis that the Apostles were knaves is quite absurd. Follow it out to the
end, and imagine these twelve men meeting after Jesus' death and conspiring to
say that he has risen from the dead. This means attacking all the powers that be.
The human heart is singularly susceptible to fickleness, to change, to
promises, to bribery. One of them had only to deny his story under these
inducements, or still more because of possible imprisonment, tortures and
death, and they would all have been lost. Follow that out. [5]
Pertanyaan penting dalam argument ini adalah kenyataan
historis bahwa tidak seorangpun pernah mengaku bahwa keseluruhan kisah
kebangkitan adalah sebuah kebohongan, sebuah pemalsuan yang sengaja. Bahkan
ketika orang-orang dianiaya, menyangkali Kristus dan menyembah Kaisar, mereka
tidak akan pernah membiarkan kucing tersebut
keluar dari karung, karena memang tidak pernah ada kucing di dalamnya. Tidak
ada orang Kristen hyang mempercayai bahwa kebangkitan adalah sebuah konspirasi.
Jika iya, mereka tidak akan menjadi Kristen.
(2) Jika mereka
mengarang cerita tersebut, mereka adalah orang-orang pengkhayal yang paling
kreatif, cerdas dan bahkan genius di sepanjang sejarah manusia, jauh
mengalahkan pujangga-pujangga sastra dunia seperti Shakespeare, dll.
(3) Karakter para murid justru
bertentangan dengan teori konspirasi. Mereka adalah orang-orang sederhana,
jujur, awam, dan bukan pendusta-pendusta yang mahir dan menyakinkan. Ketulusan
mereka terlihat dari perkataan dan perbuatan mereka. Mereka mengkhotbahkan
Kristus yang bangkit dan mereka menghidupi Kristus yang bangkit. Mereka
bersedia untuk mati bagi Tuhan mereka. Tidak ada yang dapat membuktikan sebuah
ketulusan melebihi kesyahidan. Kehidupan mereka berubah dari ketakutan menjadi
iman, putus asa menjadi keyakinan, kebingungan menjadi kepastian, pengecut yang
kabur menjadi keteguhan di bawah ancaman dan sengsara, bukan hanya membuktikan
ketulusan mereka tetapi bahkan kepada sebab yang berkuasa. Mungkinkah sebuah
kebohongan menghasilkan perubahan hidup sedemikian rupa?
St. Thomas Aquinas mengatakan:
In the midst of the tyranny of the
persecutors, an innumerable throng of people, both simple and learned, flocked
to the Christian faith. In this faith there are truths proclaimed that surpass
every human intellect; the pleasures of the flesh are curbed; it is taught that
the things of the world should be spurned. Now, for the minds of mortal men to
assent to these things is the greatest of miracles....This wonderful conversion
of the world to the Christian faith is the clearest witness....For it would be
truly more wonderful than all signs if the world had been led by simple and
humble men to believe such lofty truths, to accomplish such difficult actions,
and to have such high hopes.[6]
(4) Mustahil ada sebuah motif yang masuk akal untuk
kebohongan seperti itu. Kebohongan selalu disampaikan untuk kepentingan pribadi
yang egois. Apa untungnya berbohong tentang kebangkitan dengan resiko bahkan
mati?
(5) Jika kebangkitan adalah sebuah kebohongan, orang-orang
Yahudi akan menunjukkan mayat-Nya dan menyingkirkan tuntas kebohongan
tersrebut. Yang mereka perlu lakukan adalah pergi ke kubur dan mengambil-alih
mayat tersebut, apalagi dengan keberpihakan para prajurit Romawi dengan
pimpinan mereka kepada mereka.
(6) Para murid mustahil dapat bebas dan lolos dalam
memberitakan kebangkitan di Yerusalem, tempaty yang sama dan waktu yang sama,
dengan penuh saksi mata jika itu sebuah kebohongan.
William Lane Craig menulis,
Nor again does it seem conclusive to object to the story because it contains what are regarded as inherent absurdities, for example, that the guards would not know that it was the disciples who stole the body because they were asleep or that a Roman guard would never agree to spread a story for which they could be executed that it was the disciples who stole the body because they were asleep or that a Roman guard would never agree to spread a story for which they could be executed.[7]
(7) Jika ada konspirasi, pastilah sudah disingkapkan oleh
lawan-lawan para murid, yang jelas punya kepentingan dan kuasa untuk
menyingkapkan setiap kebohongan.
Tanggapan akan teori halusinasi
(1) Terlalu banyak
saksi. Halusinasi bersifat pribadi, individual, dan subjektif. Kristus
menampakkan diri kepada banyak orang.
(2) Para saksi memenuhi syarat. Mereka sederhana, jujur,
bermoral dan menjadi saksi-saksi mata yang pertama dari kejadian kebangkitan
Kristus.
(3) 500 orang melihat Yesus
bersama-sama, pada waktu dan tempat yang sama (1 Kor. 15:6). Menjadi
mustahil jika kemudian 500 orang ini berhalusinasi bersama-sama. Jika 500 orang
ini melihat secara terpisah, masih mungkin disebut berhalusinasi, tetapi jika
mereka melihat bersama di tempat dan waktu yang sama, maka menjadi sulit sekali
diterima bahwa mereka berhalusinasi
(4) Halusinasi biasanya hanya
berlangsung beberapa detik atau menit, jarang sekali berjam-jam. Penampakan
kebangkitan Yesus, sebaliknya, justru berlangsung selama 40 hari (Kis. 1:3).
(5) Halusinasi biasanya hanya terjadi 1
kali, kecuali bagi orang yang tidak waras. Tetapi penampakan kebangkitan Yesus
terjadi berulang-ulang kepada orang-orang biasa (Yoh. 20:19-21:14; Kis. 1:3).
(6) Halusinasi datang dari dalam diri
seseorang, dari apa yang ia telah ketahui, setidaknya secara tidak sadar. Yesus
sebaliknya melakukan banyak hal yang mengejutkan dan tak terduga (Kis. 1:4, 9)
yang nyata dan bukan mimpi.
(7) Para murid bukan hanya tidak
mengharapkan ini, tetapi mereka bahkan pada awalnya juga tidak percaya – baik
Petrus, para wanita, Tomas, ataupun sebelas murid. Mereka
pikir mereka melihat hantu. (Lk 24:36-43).
(8) Halusinasi tidak makan. Kristus yang bangkit makan, setidaknya 2 kali (Lk 24:42-43; Jn 21:1-14).
(9) Para murid menyentuh-Nya (Mt 28:9; Lk 24:39; Jn 20:27).
(10) Mereka berbicara kepada-Nya dan Ia menjawab mereka dan
percakapan ini berlangsung selama 40 hari (Acts 1:3).
(11) Para rasul tidak dapat mempercayai halusinasi jika
mayat Yesus masih di dalam kubur. Jika ini adalah halusinasi, di manakah
mayat-Nya?
(12) Jika para rasul berhalusinasi dan menyebarkan kisah
halusinasi mereka, orang-orang Yahudi akan menghentikannya dengan menunjukkan
mayat-Nya – kecuali jika para murid telah mencurinya.
(13) Halusinasi hanya dapat menjelaskan
penampakan-penampakan pasca-kebangkitan, ia tidak dapat menjelaskan kubur yang
kosong, batu besar yang tergeser, dan ketidakmampuan untuk menunjukkan mayat
Yesus
C.S. Lewis menulis,
Any theory
of hallucination breaks down on the fact (and if it is invention [rather than fact],
it is the oddest invention that ever entered the mind of man) that on three
separate occasions this hallucination was not immediately recognized as Jesus
(Lk 24:13-31; Jn 20:15; 21:4). Even granting that God sent a holy hallucination
to teach truths already widely believed without it, and far more easily taught
by other methods, and certain to be completely obscured by this, might we not
at least hope that he would get the face of the hallucination right? Is
he who made all faces such a bungler that he cannot even work up a recognizable
likeness of the Man who was himself?[8]
Tanggapan atas teori mitos
(1) Gaya injil-injil berbeda dari gaya semua mitos lainnya. Setiap ahli literature yang mengetahui
dan menghargai mitos-mitos dapat meneguhkan ini. Tidak ada kejadian-kejadian
yang dilebih-lebihkan secara kekanak-kanakan. Semuanya
tepat dan bermakna.
(2) Masalah kedua
adalah tidak ada waktu yang cukup untuk sebuah mitos berkembang. Kebanyakan
kitab dalam PB ditulis dalam era para saksi-mata masih hidup.
Julius Muller menegaskannya demikian:
One cannot imagine how such a series
of legends could arise in an historical age, obtain universal respect, and
supplant the historical recollection of the true character [Jesus]....if
eyewitnesses were still at hand who could be questioned respecting the truth of
the recorded marvels. Hence, legendary fiction, as it likes not the clear
present time but prefers the mysterious gloom of gray antiquity, is wont to
seek a remoteness of age, along with that of space, and to remove its boldest
and most rare and wonderful creations into a very remote and unknown land.[9]
(3) Teori mitos
memiliki 2 lapisan. Lapisan pertama adalah Yesus historis, yang tidak ilahi,
yang tidak mengklaim keilahian, tidak melakukan mukjizat, tidak bangkit dari
mati. Yang kedua, lapisan mitologisasi, adalah injil-injil sebagaimana yang
kita miliki, dengan Yesus yang diklaim ilahi, melakukan mukjizat-mukjizat dan
bangkit dari kematian. Masalah teori ini adalah tidak ada sama sekali saksi
untuk kedua lapisan tersebut.
Agustinus menuliskannya demikian:
The speech of one Elpidius, who had
spoken and disputed face to face against the Manichees, had already begun to
affect me at Carthage, when he produced arguments from Scripture which were not
easy to answer. And the answer they [the Manichees, who claimed to be the true
Christians] gave seemed to me feeble—indeed they preferred not to give it in
public but only among ourselves in private—the answer being that the Scriptures
of the New Testament had been corrupted by some persons unknown...yet the
Manicheans made no effort to produce uncorrupted copies.[10]
William Lane Craig meringkaskannya:
The Gospels are a miraculous story,
and we have no other story handed down to us than that contained in the
Gospels....The letters of Barnabas and Clement refer to Jesus' miracles and
resurrection. Polycarp mentions the resurrection of Christ, and Irenaeus
relates that he had heard Polycarp tell of Jesus' miracles. Ignatius speaks of
the resurrection. Quadratus reports that persons were still living who had been
healed by Jesus. Justin Martyr mentions the miracles of Christ. No relic of a
non-miraculous story exists. That the original story should be lost and
replaced by another goes beyond any known example of corruption of even oral
tradition, not to speak of the experience of written transmissions. These facts
show that the story in the Gospels was in substance the same story that
Christians had at the beginning. This means...that the resurrection of Jesus
was always a part of the story.[11]
(4) Sebuah informasi kecil, yang seringkali diabaikan, yang
penting dalam membedakan injil-injil dari mitos: saksi-saksi pertama adalah
para wanita. Dalam Yudaisme abad pertama, kaum wanita memiliki status social
yang rendah dan tidak memiliki hak untuk menjadi saksi.
(5) PB menyatakan kebangkitan Kristus
bukan mitos (2 Pet. 1:16).
(6) William Lane Craig telah meringkaskan
argumentasi-argumentasi tekstual yang tradisional yang dikutip secara lengkap
di sini: (dari Knowing the Truth About the Resurrection)
(A) Bukti bahwa injil-injil ditulis oleh saksi-saksi:
1. dari injil-injil itu sendiri:
a.
Gaya penulisannya sederhana dan
hidup
b.
Lukas ditulis sebelum Kisah para
Rasul dan karena Kisah ditulis sebelum Paulus meninggal, Lukas dibuat cukup
awal dan otentik.
c.
Injil-injil juga menunjukkan
pengetahuan yang dalam tentang Yerusalem sebelum kehancurannya di tahun 70
masehi.
d.
Nubuat Yesus akan kehancuran
Yerusalem ditulis sebelum kehancuran tersebut, karena jika tidak, gereja tentu
sudah memisahkan elemen apokaliptik dari nubuat-nubuat tersebut. Karena dunia
tidak berakhir dengan kehancuran Yerusalem, maka nubuat-nubuat apokaliptik
tentang kehancurannya tentu dibuat sebelum kehancuran tersebut.
e.
Kisah-kisah mengenai
kelemahan-kelemahan kemanusiaan Yesus dan kegagalan para murid menunjukkan
akurasi injil.
f.
Adalah mustahil untuk para pemalsu
menggabungkan cerita yang begitu konsisten seperti yang ada dalam injil-injil.
Ia tidak berusaha menekan perbedaan-perbedaan yang justru menunjukkan
originalitas mreka. Tidak ada upaya untuk mengharmonisasi injil-injil
g.
Injil tidak mengandung anakronisme;
para penulis adalah orang-orang Yahudi abad pertama yang menyaksikan
kejadian-kejadian itu.
2. bukti-bukti eksternal:
a.
Para murid pasti telah meninggalkan
sebagian tulisan yang digunakan ketika mereka mengajar orang-orang percaya yang
berada di tempat-tempat yang jauh. Apakah lagi ini jika bukan injil-injil dan
surat-surat PB? Pada akhirnya, para rasul harus menyusun kisah-kisah sejarah
Yesus secara akurat sehingga semua upaya buruk dapat dipatahkan dan injil-injil
yang asli terpelihara
b.
Ada banyak saksi yang masih hidup
ketika kitab-kitab PB ditulis yang dapat bersaksi apakah mereka berasal dari
penulis yang asli atau tidak.
c.
Kesaksian ekstra-biblis
mengatribusikan injil-injil kepada penulis-penulis tradisional mereka: Surat Barnabas,
Surat Clement, the Gembala Hermes, Theophilus, Hippolytus, Origenes, Quadratus,
Irenaeus, Melito, Polycarpus, Justin Martir, Dionysius, Tertullianus, Cyprianus,
Tatianus, Caius, Athanasius, Cyril, hingga Eusebius pada tahun 315. Bahkan
lawan-lawan kekristenan juga merujuknya: Celsus, Porphyry, Kaisar Julianus.
(B) Bukti bahwa
Injil-injil yang kita miliki sekarang sama dengan yang awal ditulis:
1.
Karena kebutuhan untuk pengajaran
dan devosi pribadi, tulisan-tulisan ini tentu telah dikopi berulang-ulang, yang
meningkatkan peluang keterpeliharaan teks asli.
2.
Tidak ada tulisan kuno lainnya yang
tersedia dalam banyak eksemplar, namun semua versi yang ada selaras dalam
isinya.
3.
Naskah Alkitab juga tidak diganggu
oleh tambahan-tambahan heretic atau bidat. Perbedaan-perbedaan yang ada hanya
bersifat minor dan berasal dari kesalahan-kesalahan tanpa sengaja dalam proses
penyalinan.
4.
Kutipan-kutipan PB dalam tulisan
Bapa-bapa Gereja semuanya selaras.
5.
Injil-injil tidak mungkin
dilencengkan tanpa perlawanan dari orang-orang Kristen ortodoks.
6.
Tidak ada yang mampu melencengkan
semua manuskrip Alkitab yang ada.
7.
Tidak ada waktu yang akurat mengenai
kapan falsifikasi, atau penyelewengan teks, terjadi.
8.
Teks PB sama baiknya dengan
tulisan-tulisan klasik dari zaman kuno.
Richard Purtill meringkaskannya
demikian:
Many events which are regarded as
firmly established historically have (1) far less documentary evidence than
many biblical events; (2) and the documents on which historians rely for much
secular history are written much longer after the event than many records of
biblical events; (3) furthermore, we have many more copies of biblical
narratives than of secular histories; and (4) the surviving copies are much
earlier than those on which our evidence for secular history is based. If the
biblical narratives did not contain accounts of miraculous events, biblical
history would probably be regarded as much more firmly established than most of
the history of, say, classical Greece and Rome.[12]
Beberapa
catatan dari tulisan-tulisan non-Kristen a.l.:
Catatan historis akan eksistensi Yesus jelas dan kuat.
Sebagai contoh, sejarahwan Romawi, Tacitus, yang menulis pada tahun 115 masehi,
mencatat kejadian-kejadian di sekitar Kaisar Nero pada bulan Juli tahun 64
masehi. Setelah kebakaran menghancurkan banyak bagian kota Roma, Nero
dipersalahkan dan diminta bertanggung jawab:
“Consequently, to get rid of the
report, Nero fastened the guilt and inflicted the most exquisite tortures on a
class hated for their abominations, called Christians by the populace. Christus
[Christ], from whom the name had its origin, suffered the extreme penalty
during the reign of Tiberius at the hands of one of our procurators, Pontius
Pilate, and a most mischievous superstition [Christ's resurrection] thus
checked for the moment, again broke out not only in Judea, the first source of
the evil, but even in Rome, where all things hideous and shameful from every
part of the world find their center and become popular.[13]
Pada tahun 112 masehi, gubernur Romawi di daerah yang
sekarang adalah Turki utara, Pliny the Younger, menulis kepada Kaisar Trajan
tentang orang-orang Kristen di wilayahnya:
"I was never present at any trial
of Christians; therefore I do not know what are the customary penalties or
investigations, and what limits are observed. . . whether those who recant
should be pardoned. . . whether the name itself, even if innocent of crime,
should be punished, or only the crimes attaching to that name. . . . Meanwhile,
this is the course that I have adopted in the case of those brought before me
as Christians. I ask them if they are Christians. If they admit it I repeat the
question a second and a third time, threatening capital punishment; if they
persist I sentence them to death. For I do not doubt that, whatever kind of
crime it may be to which they have confessed, their pertinacity and inflexible
obstinacy should certainly be punished. . . the very fact of my dealing with
the question led to a wider spread of the charge, and a great variety of cases
were brought before me. An anonymous pamphlet was issued, containing many
names. All who denied that they were or had been Christians I considered should
be discharged, because they called upon the gods at my dictation and did
reverence. . .and especially because they cursed Christ, a thing which it is
said, genuine Christians cannot be induced to do."[14]
Kemudian, orang yang sama, Pliny the Younger, juga
menulis:
“They
(the Christians) were in the habit of meeting on a certain fixed day before it
was light, when they sang in alternate verses a hymn to Christ, as to a god,
and bound themselves by a solemn oath, not to any wicked deeds, but never to
commit any fraud, theft or adultery, never to falsify their word, nor deny a
trust when they should be called upon to deliver it up; after which it was their
custom to separate, and then reassemble to partake of food—but food of an
ordinary and innocent kind.”
“An
anonymous accusatory pamphlet has been circulated containing the named of many
people. I decided to dismiss any who denied that they are or ever have been
Christians when they repeated after me a formula invoking the gods and made
offerings of wine and incense to your image [or statue], which I had ordered to
be brought with the images of the gods into court for this reason, and when they reviled Christ [Christo
male dicere]. I understand that no one who is really a Christian can be
made to do these things. Other people, whose names were given to me by an
informer, first said that they were Christians and then denied it. They said
that they had stopped being Christian two or more years ago, and some more than
twenty. They all venerated your image and the images of the gods as the others
did, and reviled Christ. They
also maintained that the sum total of this guilt or error was no more than the
following. They had met regularly before dawn on a determined day, and sung antiphonally a hymn to Christ as if
to a god [carmenque Christo quasi deo decere secum invicem]. They
also took an oath not for any crime, but to keep from theft, robbery and
adultery, not to break any promise, and not to withhold a deposit when
reclaimed.”
“At this
time there was a wise man called Jesus, and his conduct was good, and he was
known to be virtuous. Many people among the Jews and the other nations became
his disciples. Pilate condemned him to be crucified and to die. But those who
had become his disciples did not abandon his discipleship. They reported that
he had appeared to them three days after his crucifixion and that he was alive.
Accordingly, he was perhaps the Messiah, concerning whom the prophets have
reported wonders. And the tribe of the Christians, so named after him, has not
disappeared to this day.” [15]
“Upon Festus' death, Caesar sent Albinus to
Judea as procurator. But before he arrived, King Agrippa had appointed Ananus
to the priesthood, who was the son of the elder Ananus [or Annas of the Gospels].
This elder Ananus, after he himself had been high priest, had five sons, all of
whom achieved that office, which was unparalleled. The younger Ananus, however,
was rash and followed the Sadducees, who are heartless when they sit in
judgment. Ananus thought that with Festus dead and Albinus still on the way, he
would have his opportunity. Convening the judges of the Sanhedrin, he brought before them a man named James, the
brother of Jesus who was called the Christ, and certain others. He
accused them of having transgressed the law, and condemned them to be stoned to
death.”[16]
Tacitus (c. 116 AD)
“Therefore, to put down the rumor, Nero
substituted as culprits and punished in the most unusual ways those hated for
their shameful acts [flagitia], whom
the crowd called 'Chrestians.' The founder of this name, Christ, had been
executed in the reign of Tiberius by the procurator Pontius Pilate [Auctor
nominis eius Christus Tiberio imperitante per procuratorem Pontium Pilatum
supplicio adfectus erat]. Suppressed for a time, the deadly superstition
erupted again not only in Judea, the origin of this evil, but also in the city
[Rome], where all things horrible and shameful from everywhere come together
and become popular. Therefore, first those who admitted to it were arrested,
then on their information a very large multitude was convicted, not so much for
the crime of arson as for hatred of the human race [odium humani generis].
Derision was added to their end: they were covered with the skins of wild
animals and torn to death by dogs; or they were crucified and when the day
ended they were burned as torches. Nero provided his gardens for the spectacle
and gave a show in his circus, mixing with the people in charioteer's clothing,
or standing on his racing chariot.”[17]
Suetonius (c. 120 AD)
“He [Claudius] expelled the Jews from Rome,
since they were always making disturbances because of this instigator Chrestus [Judaeos impulsore Chresto
assidue tumultuantis Roma expulit].”[18]
Mara bar Serapion (kira-kira 73 AD)
“What advantage did the Athenians gain by
murdering Socrates, for which they were repaid with famine and pestilence? Or
the people of Samos by the burning of Pythagoras, because their country was
completely covered in sand in just one hour? Or the Jews [by killing] their wise king, because their kingdom
was taken away at that very time? God justly repaid the wisdom of these three
men: the Athenians died of famine; the Samians were completely overwhelmed by
the sea; and the Jews, desolate and driven from their own kingdom, are
scattered through every nation. Socrates is not dead, because of Plato; neither
is Pythagoras, because of the statue of Juno; nor is the wise king, because of the new laws he laid down.”[19]
[1]
Bagian ini berasal dari Michael Patton, reclaimingthemind.org.
[2]
Nelson Glueck, Rivers in the Desert;
History of Negev (Philadelphia: Jewish Publications Society of America,
1969), h. 31.
[3]
Gregory Boyd, Letters from a Skeptic (Colorado
Springs, CO: Cook Communication Ministries, 2003), h. 85-86
[4]
Teori-teori ini diambil dari Peter Kreeft dan Ronald C. Takelli, The Pocket Handbook of Christian Apologetics
(Downers Grove: IVP, 2003), h. 70-78.
[7] William Craig, Assessing the New Testament Evidence for the
Historicity of the Resurrection of Jesus (Lewiston: Edwin Mellen Press, 1989),
h. 213, 214.
[9]
Julius Muller, The Theory of
Myths in Its Application to the Gospel History Examined and Confuted
(London, 1844), h. 26.
[14] Bettenson, h. 3.
No comments:
Post a Comment