Thursday 25 July 2019

Pembuktian Kebangkitan Yesus: Bukti Internal dan Eksternal


Pembuktian Kebangkitan Yesus: Bukti Internal dan Eksternal 

Bukti-bukti Eksternal
Yang dimaksud dengan bukti-bukti eksternal adalah bukti-bukti yang berasal dari dokumen-dokumen saksi non-primer, yaitu: preservasi dokumen-dokumen, arkeologi, kesaksian ekstra-biblis dan keterpeliharaan dalam lingkungan yang rentan.[1]

Preservasi dokumen-dokumen
Ini berkaitan dengan bukti naskah PB, yang adalah dokumen-dokumen sumber utama terkait kebangkitan. Sementara kita tidak memiliki naskah aslinya, bukti naskah PB sangat kuat. Kita tidak hanya memiliki ratusan naskah yang ditulis sebelum abad kelima (sebagian bahkan abad kedua dan ketiga), tetapi kita memiliki banyak kutipan dari bapa-bapa gereja mula-mula yang memadai untuk dapat direkonstruksi menjadi sebagian besar PB. Semua ini menunjukkan kepada kita bahwa naskah-naskah yang kita baca sekarang secara mendasar adalah naskah-naskah yang sama seperti diberikan pada awalnya. Walaupun terdapat perbedaan-perbedaan di antara naskah-naskah yang ada, bahkan Bart Ehrman mengatakan bahwa tidak ada doktrin utama yang terpengaruh oleh perbedaan-perbedaan tersebut, dan pada umumnya perbedaan-perbedaan tersebut tidak penting.
Sebagai tambahan, dan sangat penting, bukti naskah menunjukkan kepada kita bahwa catatan-catatan injil tentang kebangkitan semuanya ditulis di dalam sebuah generasi dari kejadian-kejadian yang mereka catat, memberikan bukti bagi klaim kesaksian saksi-mata mereka. Oleh karena itu, belum sempat ada waktu untuk munculnya material legendaris.

Arkeologi
Kesaksian arkeologi telah secara kontinu meneguhkan data-data Kitab Suci. Ketika terdapat keraguan di masa lalu mengenai catatan-catatan Injil (e.g. tanggal sensus dalam Lukas dan kekuasan Quirinius, Gubernur Siria, penanggalan Injil Yohanes, dst.), penemuan-penemuan arkeologis dan historis nampaknya selalu meneguhkan Alkitab menjadi akurat secara historis.
Arkeolog Yahudi Nelson Glueck mengatakan tentang Alkitab: “Mungkin dinyatakan secara kategorial bahwa tidak ada satupun penemuan arkeologis yang telah dipertentangkan dengan referensi alkitabiah. Nilai penemuan-penemuan arkeologis telah dibuat yang meneguhkan dalam garis besar yang jelas atau di dalam pernyataan-pernyataan historis yang sangat rinci di dalam Alkitab. Dan, dengan gagasan yang sama, evaluasi deskripsi-deskripsi yang tetap telah membawa kepada penemuan-penemuan yang ajaib.[2]
Sir William Ramsay dipandang sebagai salah satu arkeolog terbesar yang pernah hidup. Sebagai seorang ateis, ia berniat untuk menggagalkan ketepatan historis Kitab Suci. Namun, setelah meneliti tulisan-tulisan Lukas (Lukas-Kisah Para Rasul), ia berubah pikiran. Ia menjadi seorang pembela yang kokoh dari kekristenan dan ketepatan historis catatan-catatan injil. Mengenai Lukas ia menulis: “Lukas adalah seorang sejarahwan kelas satu; bukan hanya pernyataan-pernyataannya akan fakta dapat dipercaya… penulis ini harus ditempatkan di antara sejarahwan-sejarahwan yang paling besar”.
Selain itu, tidak dapat diabaikan bahwa mayat Yesus tidak pernah ditemukan. Ini adalah sebuah pokok arkeologi. Digabungkan dengan pemahaman bahwa kekristenan muncul sangat awal dengan dasar kebangkitan Kristus dan bahwa terdapat banyak pengejek, bukti arkeologis dari kubur yang kosong historis adalah penting. Mereka yang menyangkali kebangkitan pada abad pertama tidak dapat menghadirkan sebuah mayat, demikian juga mereka yang menyangkalinya di masa sekarang ini. Ini adalah sebuah syarat yang diperlukan untuk menghadirkan bukti dari keyakinan seperti itu.

Kesaksian ekstra-biblis
Lebih dari 39 sumber ekstra-biblis menyaksikan lebih dari 100 fakta berkaitan dengan kehidupan dan pengajaran-pengajaran Yesus. Selain itu, semua Bapa-bapa Gereja mula-mula (yang kesaksiannya tidak dapat diabaikan hanya karena mereka percaya Kristus adalah Mesias) adalah sejarahwan-sejarahwan Yahudi dan juga Romawi. Terdapat banyak tulisan ekstra-biblis dari abad pertama dan kedua yang menyaksikan fakta bahwa orang-orang Kristgen mempercayai bahwa Kristus melakukan hal-hal luar biasa, mati di kayu salib, dan bangkit dari kubur:
Josephus, Clement, Papias, Didache, Barnabas, Justin Martyr, Ignatius, Irenaeus, Hermas, Tatian, Theophilus, Athenagoras, Clement of Alexandria.
            Dalam kenyataan, ‘kesaksian ekstra-biblis’ bukanlah istilah yang terbaik untuk serangkaian bukti ini. Itu seharusnya disebut ‘kesaksian kolaboratif’ karena bukanlah kesaksian di luar Alkitab atau bahkan Perjanjian Baru yang kita cari, melakukan bukti kolaboratif (dari banyak orang) di luar dokumen biblis yang ditaruh di bawah investigasi historis. Oleh karenanya, PB itu sendiri menyediakan dukungan kolaboratif yang memadai untuk kejadian-kejadian kebangkitan karena semua 27 dokumen (kitab) harus dilihat sebagai bagian-bagian dari bukti individual yang berdiri sendiri. Tidak ada alasan, pada titik ini, untuk meletakkan mereka bersama di dalam corpus (harf. tubuh) tunggal yang disebut “Perjanjian Baru” dan mengatakan bahwa corpus tersebut harus menemukan dukungan kolaboratifnya sendiri. Lukas mendukung Markus, Yohanes mendukung Matius. Paulus mendukung Kisah Para Rasul. Intinya adalah bahwa setiap kitab PB menyediakan bukti kolaboratif yang kuat untuk historisitas kebangkitan.
Sebagai catatan pinggir, adalah lucu ketika ada orang-orang yang berkata bahwa orang-orang Kristen harus menghadirkan bukti ‘sekuler’ untuk kebangkitan, dengan mendefinisikan ‘sekuler’sebagai mereka yang bukan orang-orang percaya. Ini seakan-akan hendak menyatakan bahwa mereka yang percaya di dalam kebangkitan kurang berbobot daripada mereka yang tidak percaya kepadanya. Sebaliknya, jika kebangkitan sungguh-sungguh terjadi, maka tentunya orang-orang yang paling dekat dengan bukti tersebut akan mempercayainya daripada tidak mempercayainya, walaupun tentu tidak berlaku mutlak.  Para penjaga yang ditempatkan di depan kubur Yesus, saat gempa terjadi dan kubur terbuka dan malaikat datang, tidak menjadi percaya dan malah menyusun konspirasi dengan para imam kepala dan tua-tua (Mt. 28:11-15).

Keterpeliharan dalam lingkungan yang rentan
Kenyataan bahwa kekristenan telah dengan berhasil melalui klaim-laim kebenaran publik dan laur biasa itu menghadirkan serangkaian bukti eksternal. Bahwa kekristenan memiliki penentang-penentang yang menjadi seteru didukung oleh semua bukti, baik internal maupun eksternal. Para penentang kekristenan memiliki setiap kesempatan untuk menyingkapkan rekayasa kebangkitan jika itu benar-benar suatu rekayasa. Kenyataan bahwa mereka yang berseteru dengan kekristenan tidak dapat, dari dahulu hingga saat ini, menghadirkan kasus yang substansial atau kompak melawan kekristenan terkait dengan historisitas kebangkitan.

Menurut Gregory Boyd,
“Christianity was born in a very hostile environment. There were contemporaries who would have refuted the Gospel portrait of Jesus—if they could have. The leaders of Judaism in the first century saw Christianity as a pernicious cult and would have loved to see it stamped out. And this would have been easy to do—if the ‘cult’ had been based on fabrications. Why, just bringing forth the body of the slain Jesus would have been sufficient to extinguish Christianity once and for all. In spite of this, however, Christianity exploded. . . . Even those who remained opposed to Christianity did not deny that Jesus did miracles, and did not deny that His tomb was empty.”[3]

“Kekristenan lahir di dalam lingkungan yang rawan. Terdapat orang-orang yang tentu telah menyangkili gambaran injil tentang Yesus – jika mereka bisa. Para pemimpin Yudaisme pada abad pertama melihat kekristenan sebagai suatu kultus yang buruk dan tentu akan senang melihatnya disingkirkan. Dan ini sebenarnya dapat dengan mudah dilakukan – jika ‘kultus’tersebut didasarkan pada rekayasa-rekayasa. Dengan hanya membawa tubuh Yesus yang dibunuh akan sangat cukup untuk mematikan kekristenan sekali untuk selamanya. Namun sebaliknya, kekristenan meledak… Dan mereka yang tetap mementang kekristenan tidak dapat menyangkali bahwa Yesus melakukan mukjizat-mukjizat, dan tidak dapat menyangkali bahwa kubur-Nya kosong”.

Teori-teori kebangkitan yang mungkin ada[4]
Terdapat setidaknya 5 teori yang mungkin: kekristenan, halusinasi, mitos, konspirasi dan pingsan.
1
Yesus mati
Yesus bangkit
Kekristenan
2
Yesus mati
Yesus tidak bangkit — para rasul tertipu
Halusinasi
3
Yesus mati
Yesus tidak bangkit — para rasul pembuat mitos
Mitos
4
Yesus mati
Yesus tidak bangkit — para rasul penipu
Konspirasi
5
Yesus tidak mati

Pingsan

Teori ke-2 dan ke-4 menghasilkan dilemma: jika Yesus tidak bangkit, maka para rasul, yang mengajarkan bahwa Ia bangkit, adalah tertipu (jika mereka berpikir Ia bangkit) atau penipu (jika mereka tahu Ia tidak bangkit). Orang-orang yang menolak kebangkitan tidak dapat menghindari dilemma ini hingga mereka tiba pada kategori lain yaitu mitos. Ini adalah alternatif yang nampaknya paling terkenal sekarang ini.
            Itu berarti kemungkinannya adalah (1) kebangkitan benar-benar terjadi, (2) para rasul ditipu oleh sebuah halusinasi, (3) para rasul membuat sebuah mitos, tidak benar-benar terjadi, (4) para rasul adalah penipu-penipu yang berkonspirasi menghadirkan kepada dunia suatu kebohongan yang paling terkenal dan berhasil, atau (5) Yesus hanya pingsan dan disadarkan kembali, dan bukan dibangkitkan. Semua kemungkinan ini masuk akan.
            Argumentasi yang dibangun di sini serupa dengan kebanyakan argumentasi akan keberadaan Allah. Baik Allah maupun kebangkitan Yesus tidak dapat secara langsung diamati, tetapi dari data yang secara langsung dapat diamati kita dapat berargumentasi bahwa satu-satunya penjelasan yang mungkin adalah penjelasan Kristen.

Sanggahan terhadap Teori Pingsan
Ada 8 bukti untuk menyanggah teori pingsan:
 (1) Yesus tidak mungkin terhindar dari penyaliban. Prosedur-prosedur Romawi sangat hati-hati dalam menghilangkan kemungkinan ini. Hukum Romawi bahkan memberikan hukuman mati bagi setiap prajurit yang membiarkan tahanan hukuman mati kabur dalam cara apapun.
(2) Kenyataan bahwa prajurit Romawi tidak mematahkan kaki Yesus, sebagaimana yang ia lakukan kepada dua orang lainnya (Yoh. 19:31-33) menunjukkan bahwa prajurit tersebut yakin bahwa Yesus telah mati. Mematahkan kaki bertujuan untuk mempercepat kematian supaya mayatnya dapat diturunkan sebelum hari Sabat (ay. 31)
(3) Yohanes, seorang saksi mata, menegaskan bahwa ia melihat darah dan air mengalir keluar dari lambung Yesus yang ditombak (Yoh. 19:34, 35).
(4) Tubuh-Nya dibungkus kain kafan dan dikubur (Yoh. 19:38-42).
(5) Penampakan-penampakan pasca kebangkitan menyakinkan para murid, bahkan Tomas yang tidak percaya, bahwa Yesus hidup (Yoh. 20:19-29). Adalah mustahil bagi para murid untuk menjadi begitu diubahkan dan yakin teguh jika Yesus hanya pingsan. Seorang yang setengah mati yang kabur dari hukuman mati tidak akan disembah sebagai tuhan ilahi dan penakluk kematian.
(6) Bagaimana mungkin penjaga-penjaga Romawi ketakutan dengan tubuh yang pingsan? Atau oleh murid-murid yang tidak bersenjata?
(7) Bagaimana mungkin seorang setengah mati yang pingsan dapat menggeser batu besar yang menutup kubur? Siapa yang dapat menggeser batu besar tersebut jika bukan malaikat?  Tidak ada yang dapat menjawabnya. Baik orang-orang Yahudi maupun Romawi tidak mungkin menggeser batu tersebut, karena niat mereka justru agar kubur tersebut tetap tertutup dan disegel, dan orang-orang Yahudi menaruh batu tersebut di sana, dan penjaga-penjaga Romawi akan membunuh-Nya jika Yesus kabur, atau mereka akan dibunuh jika membiarkan Yesus kabur.
(8) Jika Yesus bangun dari kondisi pingsan, ke mana Ia pergi? Mengapa lalu hilang? Tidak ada data sama sekali tentang kehidupan Yesus setelah penyaliban. Seorang pria seperti itu, dengan masa lalu seperti itu, pastilah meninggalkan jejak-jejak yang dapat ditelusuri.

Sanggahan terhadap Teori Konspirasi
Mengapa mustahil bagi para murid untuk mengarang seluruh kisah ini?
 (1) Blaise Pascal memberikan sebuah bukti yang sederhana mengapa itu tidak mungkin:
The apostles were either deceived or deceivers. Either supposition is difficult, for it is not possible to imagine that a man has risen from the dead. While Jesus was with them, he could sustain them; but afterwards, if he did not appear to them, who did make them act? The hypothesis that the Apostles were knaves is quite absurd. Follow it out to the end, and imagine these twelve men meeting after Jesus' death and conspiring to say that he has risen from the dead. This means attacking all the powers that be. The human heart is singularly susceptible to fickleness, to change, to promises, to bribery. One of them had only to deny his story under these inducements, or still more because of possible imprisonment, tortures and death, and they would all have been lost. Follow that out. [5] 

Pertanyaan penting dalam argument ini adalah kenyataan historis bahwa tidak seorangpun pernah mengaku bahwa keseluruhan kisah kebangkitan adalah sebuah kebohongan, sebuah pemalsuan yang sengaja. Bahkan ketika orang-orang dianiaya, menyangkali Kristus dan menyembah Kaisar, mereka tidak akan pernah membiarkan kucing tersebut keluar dari karung, karena memang tidak pernah ada kucing di dalamnya. Tidak ada orang Kristen hyang mempercayai bahwa kebangkitan adalah sebuah konspirasi. Jika iya, mereka tidak akan menjadi Kristen.
 (2) Jika mereka mengarang cerita tersebut, mereka adalah orang-orang pengkhayal yang paling kreatif, cerdas dan bahkan genius di sepanjang sejarah manusia, jauh mengalahkan pujangga-pujangga sastra dunia seperti Shakespeare, dll.
(3) Karakter para murid justru bertentangan dengan teori konspirasi. Mereka adalah orang-orang sederhana, jujur, awam, dan bukan pendusta-pendusta yang mahir dan menyakinkan. Ketulusan mereka terlihat dari perkataan dan perbuatan mereka. Mereka mengkhotbahkan Kristus yang bangkit dan mereka menghidupi Kristus yang bangkit. Mereka bersedia untuk mati bagi Tuhan mereka. Tidak ada yang dapat membuktikan sebuah ketulusan melebihi kesyahidan. Kehidupan mereka berubah dari ketakutan menjadi iman, putus asa menjadi keyakinan, kebingungan menjadi kepastian, pengecut yang kabur menjadi keteguhan di bawah ancaman dan sengsara, bukan hanya membuktikan ketulusan mereka tetapi bahkan kepada sebab yang berkuasa. Mungkinkah sebuah kebohongan menghasilkan perubahan hidup sedemikian rupa?
St. Thomas Aquinas mengatakan:
In the midst of the tyranny of the persecutors, an innumerable throng of people, both simple and learned, flocked to the Christian faith. In this faith there are truths proclaimed that surpass every human intellect; the pleasures of the flesh are curbed; it is taught that the things of the world should be spurned. Now, for the minds of mortal men to assent to these things is the greatest of miracles....This wonderful conversion of the world to the Christian faith is the clearest witness....For it would be truly more wonderful than all signs if the world had been led by simple and humble men to believe such lofty truths, to accomplish such difficult actions, and to have such high hopes.[6]

(4) Mustahil ada sebuah motif yang masuk akal untuk kebohongan seperti itu. Kebohongan selalu disampaikan untuk kepentingan pribadi yang egois. Apa untungnya berbohong tentang kebangkitan dengan resiko bahkan mati?  
(5) Jika kebangkitan adalah sebuah kebohongan, orang-orang Yahudi akan menunjukkan mayat-Nya dan menyingkirkan tuntas kebohongan tersrebut. Yang mereka perlu lakukan adalah pergi ke kubur dan mengambil-alih mayat tersebut, apalagi dengan keberpihakan para prajurit Romawi dengan pimpinan mereka kepada mereka.
(6) Para murid mustahil dapat bebas dan lolos dalam memberitakan kebangkitan di Yerusalem, tempaty yang sama dan waktu yang sama, dengan penuh saksi mata jika itu sebuah kebohongan.
William Lane Craig menulis,
Nor again does it seem conclusive to object to the story because it contains what are regarded as inherent absurdities, for example, that the guards would not know that it was the disciples who stole the body because they were asleep or that a Roman guard would never agree to spread a story for which they could be executed that it was the disciples who stole the body because they were asleep or that a Roman guard would never agree to spread a story for which they could be executed.[7]

(7) Jika ada konspirasi, pastilah sudah disingkapkan oleh lawan-lawan para murid, yang jelas punya kepentingan dan kuasa untuk menyingkapkan setiap kebohongan.

Tanggapan akan teori halusinasi
 (1) Terlalu banyak saksi. Halusinasi bersifat pribadi, individual, dan subjektif. Kristus menampakkan diri kepada banyak orang.
(2) Para saksi memenuhi syarat. Mereka sederhana, jujur, bermoral dan menjadi saksi-saksi mata yang pertama dari kejadian kebangkitan Kristus.
(3) 500 orang melihat Yesus bersama-sama, pada waktu dan tempat yang sama (1 Kor. 15:6). Menjadi mustahil jika kemudian 500 orang ini berhalusinasi bersama-sama. Jika 500 orang ini melihat secara terpisah, masih mungkin disebut berhalusinasi, tetapi jika mereka melihat bersama di tempat dan waktu yang sama, maka menjadi sulit sekali diterima bahwa mereka berhalusinasi
(4) Halusinasi biasanya hanya berlangsung beberapa detik atau menit, jarang sekali berjam-jam. Penampakan kebangkitan Yesus, sebaliknya, justru berlangsung selama 40 hari (Kis. 1:3).
(5) Halusinasi biasanya hanya terjadi 1 kali, kecuali bagi orang yang tidak waras. Tetapi penampakan kebangkitan Yesus terjadi berulang-ulang kepada orang-orang biasa (Yoh. 20:19-21:14; Kis. 1:3).
(6) Halusinasi datang dari dalam diri seseorang, dari apa yang ia telah ketahui, setidaknya secara tidak sadar. Yesus sebaliknya melakukan banyak hal yang mengejutkan dan tak terduga (Kis. 1:4, 9) yang nyata dan bukan mimpi.
(7) Para murid bukan hanya tidak mengharapkan ini, tetapi mereka bahkan pada awalnya juga tidak percaya – baik Petrus, para wanita, Tomas, ataupun sebelas murid. Mereka pikir mereka melihat hantu. (Lk 24:36-43).
(8) Halusinasi tidak makan. Kristus yang bangkit makan, setidaknya 2 kali (Lk 24:42-43; Jn 21:1-14).
(9) Para murid menyentuh-Nya (Mt 28:9; Lk 24:39; Jn 20:27).
(10) Mereka berbicara kepada-Nya dan Ia menjawab mereka dan percakapan ini berlangsung selama 40 hari (Acts 1:3).
(11) Para rasul tidak dapat mempercayai halusinasi jika mayat Yesus masih di dalam kubur. Jika ini adalah halusinasi, di manakah mayat-Nya?
(12) Jika para rasul berhalusinasi dan menyebarkan kisah halusinasi mereka, orang-orang Yahudi akan menghentikannya dengan menunjukkan mayat-Nya – kecuali jika para murid telah mencurinya.
(13) Halusinasi hanya dapat menjelaskan penampakan-penampakan pasca-kebangkitan, ia tidak dapat menjelaskan kubur yang kosong, batu besar yang tergeser, dan ketidakmampuan untuk menunjukkan mayat Yesus
C.S. Lewis menulis,
Any theory of hallucination breaks down on the fact (and if it is invention [rather than fact], it is the oddest invention that ever entered the mind of man) that on three separate occasions this hallucination was not immediately recognized as Jesus (Lk 24:13-31; Jn 20:15; 21:4). Even granting that God sent a holy hallucination to teach truths already widely believed without it, and far more easily taught by other methods, and certain to be completely obscured by this, might we not at least hope that he would get the face of the hallucination right? Is he who made all faces such a bungler that he cannot even work up a recognizable likeness of the Man who was himself?[8]

Tanggapan atas teori mitos

(1) Gaya injil-injil berbeda dari gaya semua mitos lainnya. Setiap ahli literature yang mengetahui dan menghargai mitos-mitos dapat meneguhkan ini. Tidak ada kejadian-kejadian yang dilebih-lebihkan secara kekanak-kanakan. Semuanya tepat dan bermakna.
 (2) Masalah kedua adalah tidak ada waktu yang cukup untuk sebuah mitos berkembang. Kebanyakan kitab dalam PB ditulis dalam era para saksi-mata masih hidup.
Julius Muller menegaskannya demikian:
One cannot imagine how such a series of legends could arise in an historical age, obtain universal respect, and supplant the historical recollection of the true character [Jesus]....if eyewitnesses were still at hand who could be questioned respecting the truth of the recorded marvels. Hence, legendary fiction, as it likes not the clear present time but prefers the mysterious gloom of gray antiquity, is wont to seek a remoteness of age, along with that of space, and to remove its boldest and most rare and wonderful creations into a very remote and unknown land.[9] 

 (3) Teori mitos memiliki 2 lapisan. Lapisan pertama adalah Yesus historis, yang tidak ilahi, yang tidak mengklaim keilahian, tidak melakukan mukjizat, tidak bangkit dari mati. Yang kedua, lapisan mitologisasi, adalah injil-injil sebagaimana yang kita miliki, dengan Yesus yang diklaim ilahi, melakukan mukjizat-mukjizat dan bangkit dari kematian. Masalah teori ini adalah tidak ada sama sekali saksi untuk kedua lapisan tersebut.
Agustinus menuliskannya demikian:
The speech of one Elpidius, who had spoken and disputed face to face against the Manichees, had already begun to affect me at Carthage, when he produced arguments from Scripture which were not easy to answer. And the answer they [the Manichees, who claimed to be the true Christians] gave seemed to me feeble—indeed they preferred not to give it in public but only among ourselves in private—the answer being that the Scriptures of the New Testament had been corrupted by some persons unknown...yet the Manicheans made no effort to produce uncorrupted copies.[10] 

William Lane Craig meringkaskannya:
The Gospels are a miraculous story, and we have no other story handed down to us than that contained in the Gospels....The letters of Barnabas and Clement refer to Jesus' miracles and resurrection. Polycarp mentions the resurrection of Christ, and Irenaeus relates that he had heard Polycarp tell of Jesus' miracles. Ignatius speaks of the resurrection. Quadratus reports that persons were still living who had been healed by Jesus. Justin Martyr mentions the miracles of Christ. No relic of a non-miraculous story exists. That the original story should be lost and replaced by another goes beyond any known example of corruption of even oral tradition, not to speak of the experience of written transmissions. These facts show that the story in the Gospels was in substance the same story that Christians had at the beginning. This means...that the resurrection of Jesus was always a part of the story.[11]
(4) Sebuah informasi kecil, yang seringkali diabaikan, yang penting dalam membedakan injil-injil dari mitos: saksi-saksi pertama adalah para wanita. Dalam Yudaisme abad pertama, kaum wanita memiliki status social yang rendah dan tidak memiliki hak untuk menjadi saksi.
(5) PB menyatakan kebangkitan Kristus bukan mitos (2 Pet. 1:16).
(6) William Lane Craig telah meringkaskan argumentasi-argumentasi tekstual yang tradisional yang dikutip secara lengkap di sini: (dari Knowing the Truth About the Resurrection)
(A) Bukti bahwa injil-injil ditulis oleh saksi-saksi:
1. dari injil-injil itu sendiri:
a.                   Gaya penulisannya sederhana dan hidup
b.      Lukas ditulis sebelum Kisah para Rasul dan karena Kisah ditulis sebelum Paulus meninggal, Lukas dibuat cukup awal dan otentik.
c.       Injil-injil juga menunjukkan pengetahuan yang dalam tentang Yerusalem sebelum kehancurannya di tahun 70 masehi.
d.      Nubuat Yesus akan kehancuran Yerusalem ditulis sebelum kehancuran tersebut, karena jika tidak, gereja tentu sudah memisahkan elemen apokaliptik dari nubuat-nubuat tersebut. Karena dunia tidak berakhir dengan kehancuran Yerusalem, maka nubuat-nubuat apokaliptik tentang kehancurannya tentu dibuat sebelum kehancuran tersebut.
e.       Kisah-kisah mengenai kelemahan-kelemahan kemanusiaan Yesus dan kegagalan para murid menunjukkan akurasi injil.
f.       Adalah mustahil untuk para pemalsu menggabungkan cerita yang begitu konsisten seperti yang ada dalam injil-injil. Ia tidak berusaha menekan perbedaan-perbedaan yang justru menunjukkan originalitas mreka. Tidak ada upaya untuk mengharmonisasi injil-injil
g.       Injil tidak mengandung anakronisme; para penulis adalah orang-orang Yahudi abad pertama yang menyaksikan kejadian-kejadian itu.
2. bukti-bukti eksternal:
a.       Para murid pasti telah meninggalkan sebagian tulisan yang digunakan ketika mereka mengajar orang-orang percaya yang berada di tempat-tempat yang jauh. Apakah lagi ini jika bukan injil-injil dan surat-surat PB? Pada akhirnya, para rasul harus menyusun kisah-kisah sejarah Yesus secara akurat sehingga semua upaya buruk dapat dipatahkan dan injil-injil yang asli terpelihara
b.      Ada banyak saksi yang masih hidup ketika kitab-kitab PB ditulis yang dapat bersaksi apakah mereka berasal dari penulis yang asli atau tidak.
c.       Kesaksian ekstra-biblis mengatribusikan injil-injil kepada penulis-penulis tradisional mereka: Surat Barnabas, Surat Clement, the Gembala Hermes, Theophilus, Hippolytus, Origenes, Quadratus, Irenaeus, Melito, Polycarpus, Justin Martir, Dionysius, Tertullianus, Cyprianus, Tatianus, Caius, Athanasius, Cyril, hingga Eusebius pada tahun 315. Bahkan lawan-lawan kekristenan juga merujuknya: Celsus, Porphyry, Kaisar Julianus.
 (B) Bukti bahwa Injil-injil yang kita miliki sekarang sama dengan yang awal ditulis:
1.      Karena kebutuhan untuk pengajaran dan devosi pribadi, tulisan-tulisan ini tentu telah dikopi berulang-ulang, yang meningkatkan peluang keterpeliharaan teks asli.
2.      Tidak ada tulisan kuno lainnya yang tersedia dalam banyak eksemplar, namun semua versi yang ada selaras dalam isinya.
3.      Naskah Alkitab juga tidak diganggu oleh tambahan-tambahan heretic atau bidat. Perbedaan-perbedaan yang ada hanya bersifat minor dan berasal dari kesalahan-kesalahan tanpa sengaja dalam proses penyalinan.
4.      Kutipan-kutipan PB dalam tulisan Bapa-bapa Gereja semuanya selaras.
5.      Injil-injil tidak mungkin dilencengkan tanpa perlawanan dari orang-orang Kristen ortodoks.
6.      Tidak ada yang mampu melencengkan semua manuskrip Alkitab yang ada.
7.      Tidak ada waktu yang akurat mengenai kapan falsifikasi, atau penyelewengan teks, terjadi.
8.      Teks PB sama baiknya dengan tulisan-tulisan klasik dari zaman kuno.
 Richard Purtill meringkaskannya demikian:
Many events which are regarded as firmly established historically have (1) far less documentary evidence than many biblical events; (2) and the documents on which historians rely for much secular history are written much longer after the event than many records of biblical events; (3) furthermore, we have many more copies of biblical narratives than of secular histories; and (4) the surviving copies are much earlier than those on which our evidence for secular history is based. If the biblical narratives did not contain accounts of miraculous events, biblical history would probably be regarded as much more firmly established than most of the history of, say, classical Greece and Rome.[12]

Beberapa catatan dari tulisan-tulisan non-Kristen a.l.:
Catatan historis akan eksistensi Yesus jelas dan kuat. Sebagai contoh, sejarahwan Romawi, Tacitus, yang menulis pada tahun 115 masehi, mencatat kejadian-kejadian di sekitar Kaisar Nero pada bulan Juli tahun 64 masehi. Setelah kebakaran menghancurkan banyak bagian kota Roma, Nero dipersalahkan dan diminta bertanggung jawab:
“Consequently, to get rid of the report, Nero fastened the guilt and inflicted the most exquisite tortures on a class hated for their abominations, called Christians by the populace. Christus [Christ], from whom the name had its origin, suffered the extreme penalty during the reign of Tiberius at the hands of one of our procurators, Pontius Pilate, and a most mischievous superstition [Christ's resurrection] thus checked for the moment, again broke out not only in Judea, the first source of the evil, but even in Rome, where all things hideous and shameful from every part of the world find their center and become popular.[13]

Pada tahun 112 masehi, gubernur Romawi di daerah yang sekarang adalah Turki utara, Pliny the Younger, menulis kepada Kaisar Trajan tentang orang-orang Kristen di wilayahnya:
"I was never present at any trial of Christians; therefore I do not know what are the customary penalties or investigations, and what limits are observed. . . whether those who recant should be pardoned. . . whether the name itself, even if innocent of crime, should be punished, or only the crimes attaching to that name. . . . Meanwhile, this is the course that I have adopted in the case of those brought before me as Christians. I ask them if they are Christians. If they admit it I repeat the question a second and a third time, threatening capital punishment; if they persist I sentence them to death. For I do not doubt that, whatever kind of crime it may be to which they have confessed, their pertinacity and inflexible obstinacy should certainly be punished. . . the very fact of my dealing with the question led to a wider spread of the charge, and a great variety of cases were brought before me. An anonymous pamphlet was issued, containing many names. All who denied that they were or had been Christians I considered should be discharged, because they called upon the gods at my dictation and did reverence. . .and especially because they cursed Christ, a thing which it is said, genuine Christians cannot be induced to do."[14]

Kemudian, orang yang sama, Pliny the Younger, juga menulis:
“They (the Christians) were in the habit of meeting on a certain fixed day before it was light, when they sang in alternate verses a hymn to Christ, as to a god, and bound themselves by a solemn oath, not to any wicked deeds, but never to commit any fraud, theft or adultery, never to falsify their word, nor deny a trust when they should be called upon to deliver it up; after which it was their custom to separate, and then reassemble to partake of food—but food of an ordinary and innocent kind.”
 “An anonymous accusatory pamphlet has been circulated containing the named of many people. I decided to dismiss any who denied that they are or ever have been Christians when they repeated after me a formula invoking the gods and made offerings of wine and incense to your image [or statue], which I had ordered to be brought with the images of the gods into court for this reason, and when they reviled Christ [Christo male dicere]. I understand that no one who is really a Christian can be made to do these things. Other people, whose names were given to me by an informer, first said that they were Christians and then denied it. They said that they had stopped being Christian two or more years ago, and some more than twenty. They all venerated your image and the images of the gods as the others did, and reviled Christ. They also maintained that the sum total of this guilt or error was no more than the following. They had met regularly before dawn on a determined day, and sung antiphonally a hymn to Christ as if to a god [carmenque Christo quasi deo decere secum invicem]. They also took an oath not for any crime, but to keep from theft, robbery and adultery, not to break any promise, and not to withhold a deposit when reclaimed.”

Josephus (c. 93-94 AD):
At this time there was a wise man called Jesus, and his conduct was good, and he was known to be virtuous. Many people among the Jews and the other nations became his disciples. Pilate condemned him to be crucified and to die. But those who had become his disciples did not abandon his discipleship. They reported that he had appeared to them three days after his crucifixion and that he was alive. Accordingly, he was perhaps the Messiah, concerning whom the prophets have reported wonders. And the tribe of the Christians, so named after him, has not disappeared to this day.[15]

“Upon Festus' death, Caesar sent Albinus to Judea as procurator. But before he arrived, King Agrippa had appointed Ananus to the priesthood, who was the son of the elder Ananus [or Annas of the Gospels]. This elder Ananus, after he himself had been high priest, had five sons, all of whom achieved that office, which was unparalleled. The younger Ananus, however, was rash and followed the Sadducees, who are heartless when they sit in judgment. Ananus thought that with Festus dead and Albinus still on the way, he would have his opportunity. Convening the judges of the Sanhedrin, he brought before them a man named James, the brother of Jesus who was called the Christ, and certain others. He accused them of having transgressed the law, and condemned them to be stoned to death.”[16]

Tacitus (c. 116 AD)
“Therefore, to put down the rumor, Nero substituted as culprits and punished in the most unusual ways those hated for their shameful acts [flagitia], whom the crowd called 'Chrestians.' The founder of this name, Christ, had been executed in the reign of Tiberius by the procurator Pontius Pilate [Auctor nominis eius Christus Tiberio imperitante per procuratorem Pontium Pilatum supplicio adfectus erat]. Suppressed for a time, the deadly superstition erupted again not only in Judea, the origin of this evil, but also in the city [Rome], where all things horrible and shameful from everywhere come together and become popular. Therefore, first those who admitted to it were arrested, then on their information a very large multitude was convicted, not so much for the crime of arson as for hatred of the human race [odium humani generis]. Derision was added to their end: they were covered with the skins of wild animals and torn to death by dogs; or they were crucified and when the day ended they were burned as torches. Nero provided his gardens for the spectacle and gave a show in his circus, mixing with the people in charioteer's clothing, or standing on his racing chariot.”[17]

Suetonius (c. 120 AD)
“He [Claudius] expelled the Jews from Rome, since they were always making disturbances because of this instigator Chrestus [Judaeos impulsore Chresto assidue tumultuantis Roma expulit].”[18]

Mara bar Serapion (kira-kira 73 AD)
“What advantage did the Athenians gain by murdering Socrates, for which they were repaid with famine and pestilence? Or the people of Samos by the burning of Pythagoras, because their country was completely covered in sand in just one hour? Or the Jews [by killing] their wise king, because their kingdom was taken away at that very time? God justly repaid the wisdom of these three men: the Athenians died of famine; the Samians were completely overwhelmed by the sea; and the Jews, desolate and driven from their own kingdom, are scattered through every nation. Socrates is not dead, because of Plato; neither is Pythagoras, because of the statue of Juno; nor is the wise king, because of the new laws he laid down.”[19]


[1] Bagian ini berasal dari Michael Patton, reclaimingthemind.org.
[2] Nelson Glueck, Rivers in the Desert; History of Negev (Philadelphia: Jewish Publications Society of America, 1969), h. 31.
[3] Gregory Boyd, Letters from a Skeptic (Colorado Springs, CO: Cook Communication Ministries, 2003), h. 85-86
[4] Teori-teori ini diambil dari Peter Kreeft dan Ronald C. Takelli, The Pocket Handbook of Christian Apologetics (Downers Grove: IVP, 2003), h. 70-78.
[5] Pascal, Pensees 322, 310
[6] Summa Contra Gentiles, I, 6
[7] William Craig, Assessing the New Testament Evidence for the Historicity of the Resurrection of Jesus (Lewiston: Edwin Mellen Press, 1989), h. 213, 214.

[8] C.S. Lewis, Miracles, chapter 16.
[9] Julius Muller, The Theory of Myths in Its Application to the Gospel History Examined and Confuted  (London, 1844), h. 26.
[10] Agustinus, Confessions, V, 11, Sheed translation.

[11] W.L. Craig, Apologetics, chapter 6.
[12] Richard Purtill, Thinking About Religion, h. 84-85.
[13] Henry Bettenson, Documents of the Christian Church (Oxford Press, London, 1943), h. 2.
[14] Bettenson, h. 3.
[15] Antiquities XVIII, 63 from Josephus: The Essential Writings ed. Paul L. Maier, h. 264-265.
[16] Antiquities XX, 197; from Josephus, Maier, h. 275-276.
[17] Annals 15:44
[18] Lives of the Caesars, buku 5, Claudius 25:4.
[19] Letter in Syriac to his son.