Monday 21 January 2019

Latar Belakang Kitab Wahyu


Latar Belakang Kitab Wahyu

Penulisan Surat

Mempelajari penulisan Kitab Wahyu selalu ada persoalan yang sering kali muncul.  Persoalan ini biasanya berkaitan dengan siapa penulis dan kapan ditulisnya kitab ini. 
Siapa penulisnya? Banyak para ahli meragukan bahwa Yohanes anak Zebedeus sebagai penulis kitab ini.  Keraguan ini muncul karena gaya dan bahasa Kitab Wahyu sangat berbeda dengan tulisan Yohanes di dalam Injil dan surat-suratnya.  Jika di dalam injil dan surat-suratnya, Yohanes menggunakan bahasa Yunani yang sempurna dan Indah.  Bahasa Yunani Kitab Wahyu, meskipun memiliki keunikan tersendiri, terkesan sangat sederhana dan tidak menggunakan tata bahasa yang baik (para ahli menyebutnya sebagai bahasa Yunani barbar).[1] Alasan selanjutnya, Yohanes dalam Kitab Wahyu tidak pernah memperkenalkan dirinya sebagai rasul atau murid Yesus, seperti yang biasa dilakukan oleh rasul Yohanes dalam tulisan-tulisannya.  Bahkan, Yohanes dalam Kitab Wahyu justru mengakui dirinya sebagai nabi, yang jelas menunjuk kepada suatu tugas dan panggilan yang berbeda dari seorang rasul, seperti Yohanes murid Yesus.[2]
 Benar atau tidaknya informasi di atas, menurut pendapat peneliti, bahwa penulis Kitab Wahyu adalah Rasul Yohanes, murid Yesus.  Hal ini didasarkan oleh tiga fakta Penting yang diinfomasikan oleh Kitab Wahyu.[3]
Fakta pertama, pengakuan Yohanes sebagai nabi.  Yohanes dikenal oleh sebagian besar jemaat di Asia sebagai salah satu nabi (22:6). [4] Itu berarti, dengan mengaku sebagai nabi, Yohanes yang disebutkan oleh Kitab Wahyu adalah seseorang yang memiliki otoritas atau berpengaruh dalam kehidupan tujuh jemaat. Tentu saja jika melihat siapa yang memiliki otoritas dan pengaruh di zaman jemaat mula-mula dengan nama Yohanes.  Tidak ada nama lain lagi, yang tercatat di tulisan-tulisan kekristenan zaman itu dengan nama “Yohanes (yang lain)” sebagai tokoh besar atau berpengaruh terhadap tujuh jemaat mula-mula, selain Yohanes Rasul.  
Fakta kedua, pengakuan Yohanes sebagai nabi dan bukan sebagai rasul  bukan sesuatu yang asing pada zaman itu.  Sebab pada zaman itu merupakan fenomena yang populer bagi para guru spiritual untuk menambahkan gelar atau status nabi dalam mengajarkan pesan-pesan apokaliptis.  Fenomena inilah yang kemudian mempengaruhi gereja-gereja di Asia, sehingga banyak pengajar Kristen yang mengaku dirinya sebagai nabi untuk mengajarkan pesan apokaliptis.  Uniknya, oleh karena banyak pengajar Kristen yang mengaku dirinya sebagai nabi, terkadang menimbulkan masalah tersendiri bagi gereja untuk membedakan nabi sejati dengan nabi palsu.[5]
Fakta yang lain, mengenai hukuman Yohanes oleh karena memberitakan Injil.  Jika melihat dalam Alkitab, informasi terakhir tentang kehidupan Yohanes rasul adalah pada waktu dihukum oleh karena memberitakan Injil pada masa pemerintahan Nero.  Pendapat ini sangat cocok dengan informasi yang dijelaskan oleh Kitab Wahyu. Kitab Wahyu menulis bahwa keberadaan Yohanes di pulau Patmos, oleh karena Bersaksi tentang Firman Allah dan Yesus Kristus (1:2).[6] Ini merupakan sebuah petunjuk bahwa ia dibuang di pulau Patmos karena memberitakan injil.
Berdasarkan suatu informasi Patmos adalah sebuah pulau vulkanik kecil di Laut Aegea, Sekitar 40-50 mil bagian barat daya Efesus.  Menurut Pliny pulau itu digunakan Sebagai tempat pengasingan politik dan korban penganiayaan agama.[7] Karena pulau ini digunakan Sebagai tempat hukuman dari tahanan politik dan korban penganiayaan agama, orang-orang yang dibuang dipulau itu memiliki kewajiban untuk bekerja sesuai dengan berat hukumannya.  Pada tingkat tertinggi, dipekerjakan sebagai budak di tambang Romawi.  Sedangkan pada tingkat menengah, tinggal dalam jangka waktu yang cukup lama, dicabut hak sipilnya dan aset berharganya disita oleh pemerintah.  Sedangkan pada tingkat yang paling rendah, wajib tinggal di pulau ini sesuai waktu yang ditentukan dan biasanya tidak terlampau lama.  Dari keterangan yang ada, tidak diketahui secara pasti pada tingkat mana hukuman yang diterima oleh Yohanes di Pulau Patmos.  Namun ada sumber terkait memberikan keterangan, bahwa Yohanes tinggal di pulau itu selama tiga puluh tahun pada waktu kaisar Nero berkuasa.[8]
Kemudian mengenai kapan ditulisnya? Ada dua klaim bahwa Kitab Wahyu ditulis sebelum Tahun 70 M (sekitar Tahun 54-68 M pada masa akhir pemerintahan Nero) dan sesudah Tahun 70 M (Sekitar Tahun 81-96 M pada masa pemerintahan Domitianus).[9]  Namun, penulis lebih setuju yang pertama.  Yaitu sebelum tahun 70 M oleh karena terdapat bukti internal dan eksternal yang menunjukkan tanggal penulisan pada masa pemerintahan Nero. 
Bukti internal adalah keterangan yang secara implisit di jelaskan oleh Kitab Wahyu.  Di dalam Kitab Wahyu, banyak ditemukan bukti yang memberikan keterangan pada Tahun 68-69 M.  Seperti adanya mitos “Nero Redivivus” yang digambarkan oleh Kitab Wahyu sebagai binatang dari laut yang telah sembuh lukanya (13: 1-10).  Banyak penafsir menganggap binatang itu adalah manifestasi Nero.  Bahwa Nero akan hidup kembali dalam wujud manusia lain setelah bunuh diri sesuai dengan mitos yang berkembang di masyarakat setelah kematian Nero.[10] Anggapan ini sesuai, jika melihat arti dari angka 666 dalam huruf ibrani dapat diterjemahkan menjadi Neron Kaesar (kaisar Nero). 
Bukti lainnya terdapat dalam nubuatan terhadap Babel yang berbicara mengenai binatang berkepala tujuh (17:10).  Dalam nubuatan itu dikatakan bahwa lima diantaranya sudah jatuh, dan yang lain “sudah ada” dan “akan datang.”  Jika menafsirkan ayat ini berdasarkan sejarah, maka lima kepala itu adalah lima kaisar Romawi yang telah turun tahta, yakni; Julius, Augustus, Tiberius, Caligula dan Claudius.  Sedangkan yang keenam atau “sudah ada” adalah Nero.  Dan orang yang ketujuh, “yang akan datang” masih bersifat nubuat sesuai dengan simbol angka tujuh kepercayaan Yahudi. 
Selain itu, di wahyu 11:1-2 tentang visi Yohanes yang mengukur bait suci dengan tongkat.  Yohanes sedang memberikan gambaran tentang Yerusalem yang sejati.  Bahwa Yerusalem yang sejati bukanlah Yerusalem bangunan fisik yang ada sekarang.  Melainkan Yerusalem yang sejati adalah Yerusalem yang ada diatas dan berasal dari Allah sendiri.  Ini juga merupakan salah satu bukti bahwa kitab ini ditulis sebelum hancurnya bait suci pada Tahun 70 M.  Pendapat ini dibuat oleh karena tidak adanya informasi mengenai kehancuran bait suci di dalam Kitab Wahyu. 
            Bukti-bukti eksternal diluar Kitab Wahyu  juga banyak memberikan petunjuk pada pemerintahan Nero.  Petunjuk pertama, banyak dokumen sejarah pada masa Nero memberikan keterangan mengenai penyiksaan orang-orang Kristen jauh lebih banyak dari pada yang dapat ditemukan pada masa Domitianus.[11] Petunjuk kedua, hanya Nero yang memiliki alasan kuat untuk membenci dan menyiksa orang-orang Kristen, daripada Domitianus.[12] Banyak sumber menjelaskan bahwa Nero memiliki alasan kuat untuk menyiksa orang-orang Kristen sebagai kambing hitam atas pembakaran yang dilakukannya di Roma pada tahun 64 M.  Sumber ini mendapat konfirmasi dari sejarawan Romawi awal abad kedua (Tacitus, Suetonius dan Plutarch) dengan pendapat yang hampir sama.  Ketiganya menjelaskan bahwa tahun-tahun terakhir kehidupan Nero, adalah tahun malapetaka bagi orang-orang Kristen,—Tahun malapetaka ini juga dikenal dengan sebutan “The Year Of The Four Emperors (Tahun dari empat raja). [13] [14]

Penerima Surat

            Surat Wahyu sesungguhnya dialamatkan kepada gereja universal di Asia, bukan hanya kepada tujuh gereja yang tertulis di dalam Kitab Wahyu 1:4 (Efesus, Smirna, Pergamus, Tiatira, Sardis, Filadelfia, dan Laodikia).  Angka tujuh sebagai jumlah dari gereja penerima surat, tidak dapat ditafsirkan secara harafiah.  Angka tujuh merupakan bahasa simbol yang berarti kepenuhan dan kesempurnaan.  Jadi maksud Yohanes menulis surat ini kepada tujuh gereja yang dituju, merupakan sebuah strategi untuk menyebarluaskan surat wahyu kepada seluruh gereja di Asia.[15] Maksud Yohanes untuk menyebarluaskan surat wahyu secara universal di Asia, tersirat dari pernyataan wahyu 1:3 “Berbahagialah ia yang membacakan dan mereka yang mendengarkan kata-kata nubuat ini, dan yang menuruti apa yang ada tertulis di dalamnya, sebab waktunya sudah dekat.”
            Seperti apakah keadaan gereja-gereja di Asia pada saat itu? secara umum keadaan gereja-gereja di Asia, diwakili oleh tujuh gereja yang menerima surat wahyu.  Apa yang dialami oleh ketujuh gereja tersebut? ketujuh gereja sedang diambang perpecahan.  Hal ini dapat dilihat dari cara Yohanes memperkenalkan diri di wahyu 1:9, “Aku, Yohanes, saudara dan sekutumu dalam kesusahan, dalam Kerajaan dan dalam ketekunan menantikan Yesus, berada di pulau yang bernama Patmos oleh karena firman Allah dan kesaksian yang diberikan oleh Yesus. Cara Yohanes menyebut dirinya dalam banyak istiliah yang cukup beranekaragam.  Mulai dari Yohanes, saudara sekutumu dalam kesusahan, tekun menantikan Yesus, dan berada di Patmos.  Sebenarnya Memperlihatkan adanya perbedaan hubungan dan komunikasi Yohanes kepada tiap-tiap gereja di Asia. [16] Perbedaan hubungan dan komunikasi ini mengisyaratkan bahwa sesama gereja di Asia mulai menunjukkan adanya perpecahan, kurang harmonis dan tidak berhubungan erat satu sama lain. 
Selain itu, tujuh gereja ini sedang mengalami tekanan yang cukup berat dari luar.  Tekanan dari luar tersebut berasal dari Yudaisme, kehidupan bangsa kafir dan pemerintah Romawi.[17] Dari Yudaisme—orang Kristen dibenci dan dimusuhi karena dianggap sebagai sekte sesat, yang berkembang dari dalam agama Yahudi.  Dari kehidupan bangsa kafir—kehidupan duniawi yang imoralitas dan ritual-ritual keagamaan yang begitu majemuk disekitar orang-orang Kristen, memberikan pengaruh yang cukup kuat bagi kehidupan beriman.  Sedangkan dari pemerintah romawi—Kaisar Romawi sebagai penguasa tunggal di seluruh Asia, memiliki aturan mutlak, yang harus ditaati oleh setiap orang.  Aturan mutlak ini adalah sebuah aturan yang mengharuskan setiap orang untuk melakukan ritual penyembahan terhadap kaisar dan berhala bangsa romawi.  Semua yang dialami oleh Ketujuh gereja tersebut sesungguhnya merupakan gambaran skala kecil dari keadaan dan pergumulan yang dialami oleh gereja secara universal di Asia pada waktu itu.[18]

Keadaan Sosial

Kehidupan Sosial gereja Kristen di Asia tidak lepas dari lingkungan kelompok Yahudi.  Maka tidak asing lagi apabila wajah kekristenan awal begitu sama dengan Yudaisme.[19] Kesamaan antara kekristenan dengan Yudaisme terlihat begitu jelas dari simbol-simbol yang dipakai oleh Kitab Wahyu.  Simbol-simbol yang dipakai dalam Kitab Wahyu selalu berhubungan dengan nubuatan Perjanjian Lama dan konsep eskatologi orang Yahudi.  Selain itu pula, sebagian besar liturgi ibadah Kristen mengadopsi liturgi Yudaisme, seperti; pembacaan firman Tuhan, pembacaan doa, dan aturan paskah.[20] Berdasarkan fenomena yang ada, seolah-olah kekristenan awal telah melebur menjadi satu dengan Yudaisme.  Keadaan inilah yang membuat Rudolf Bultmann berpendapat bahwa kekristenan zaman wahyu adalah "Yudaisme yang dikristenkan dengan lemah”.[21]
Meskipun kelompok Kristen awal memiliki kesamaan dengan kelompok Yudaisme, orang-orang Kristen awal selalu mengalami penolakan dan permusuhan dari Yudaisme itu sendiri (Lih. 2:9 dan 3:9).  Permasalahan utama yang menjadi penyebab penolakan dan permusuhan Yudaisme terhadap orang-orang Kristen, sesungguhnya berawal dari kepercayaan orang Kristen kepada Kristus.  Bagi orang Yahudi, sosok Kristus yang dipercaya orang Kristen sebagai sebagai Tuhan penyelamat, bertentangan dengan kepercayaan monoteisme Yahudi.[22]  Kepercayaan monoteisme Yahudi, secara tegas memberikan pemisah antara pencipta dan mahkluk ciptaan, antara yang ilahi dan yang insani.  Dalam kepercayaan ini, segala bentuk perilaku agamawi selalu menunjukan pemisahan yang jelas antara Allah yang kudus dan sempurna dengan manusia yang terbatas (Seperti praktik ibadah di dalam bait suci yang memisahkan serambi salomo, ruang kudus dan ruang maha kudus).[23] Oleh sebab itu orang Yahudi dalam kepercayaan monoteisnya, tidak dapat memberikan tempat khusus bagi Kristus, yang diakui oleh orang Kristen sebagai, manusia dan juga Allah, Juruselamat, perantara atau mediator antara manusia dengan Allah. 
Kekristenan awal bukan hanya berbenturan dengan golongan Yudaisme saja, tetapi juga berbenturan dengan budaya dan agama kafir diluar gereja.  Benturan dengan budaya dan agama kafir tersebut, kemudian melahirkan para bidah Kristen dengan pengajarannya yang menyesatkan gereja.[24] Menurut keterangan Kitab Wahyu, para bidah ini mengakui dirinya sebagai rasul-rasul (2:2), pengikut Nikolaus (2:6, 15), pengikut ajaran Bileam (2:14), dan pengikut wanita Izebel (2:20).  Dalam prakteknya, para bidah ini hidup dalam perzinahan (2:14, 20), materialistis (3:17), dan nampaknya juga ada pengaruh ajaran Gnosis.  Sebab disebutkan oleh kitab ini, bahwa para bidah ini mengetahui seluk-beluk Iblis (2:24).

Keadaan Politik

Secara politik, lima tahun pertama pemerintahan Nero atas provinsi-provinsi berjalan dengan baik.  Akan tetapi sejak Nero membunuh adik tiri, ibu dan ketiga istrinya pada Tahun 59-60, negara Roma mengalami kemunduran.  Kemunduran itu terjadi sejak Nero mulai memerintah dengan sewenang-wenang dan kejam untuk memuaskan hasrat seninya.[25] Demi ambisinya untuk meniti karier dibidang seni (dari pada menjadi seorang negarawan).  Nero telah menghabiskan banyak uang dari perbendaharaan negara dan berusaha mengisinya dengan cara-cara kekerasan, seperti; menjual aset-aset negara, menuntut warisan keluarga kepada negara dan melakukan pemerasan.[26]
Tidak hanya berhenti sampai disitu, puncak dari ambisi Nero adalah membangun istana emas (Domus Auera) di atas bukit Esquiline yang berada di pusat kota.  Untuk mewujudkannya, Nero secara diam-diam melakukan pembakaran di kota Roma pada Tahun 64 yang berlangsung selama 39 hari, dan memusnahkan 10 daerah di pusat kota.[27] Setelah tragedi kebakaran itu, segera tersiar kabar bahwa Kaisar Nero sebagai pelaku utama pembakaran kota. 
Maka untuk menutupi kejahatannya, Nero kemudian mencari kambing hitam dengan memfitnah orang-orang Kristen sebagai penyebab kebakaran tersebut.[28] Dalam usahanya untuk meyakinkan rakyat bahwa ia tidak bersalah atas kejadian itu.  Nero kemudian memerintahkan untuk menangkap dan membunuh orang Kristen dengan cara-cara yang sangat kejam.  Ada yang dimasukkan dalam penjara; disalibkan; ada yang dijahit dalam kulit binatang, kemudian di buru dan dimakan anjing lapar; Ada juga yang dilumuri dengan ter, lalu dibakar di jalanan sampai mati.[29] Begitu kejamnya penyiksaan yang dilakukan Nero pada waktu itu—hingga menurut tradisi, Rasul Paulus dan Petrus juga di hukum mati pada masa penyiksaan tersebut.

Keadaan Agama

Sejak awal mula berdirinya Romawi kuno, agama Romawi bersifat politeistik.  Orang-orang Romawi menyembah ribuan dewa yang ada di alam, seperti: Batu, air, pohon, gunung, api dan berbagai macam benda.  Menurut kepercayaan romawi, segala sesuatu yang ada di alam memiliki roh penjaga atau oknum-oknum ilahi yang setidaknya memiliki satu pekerjaan khusus.  Bermula dari kepercayaan inilah, setelah romawi melakukan perluasan di dataran mediterania, afrika dan Asia, bangsa romawi banyak mengadopsi dewa-dewa dan mitos-mitos yang terdapat di daerah kekuasaannya (sebagian besar kepercayaan bangsa ini mengadopsi dewa-dewa dan mitologi Yunani).[30]
Seiring berjalannya waktu, setelah roma menyatakan diri sebagai negara kekaisaran.  Kaisar pertama, Gaius Julius Caesar Agustus atau yang disebut sebagai Augustus dinobatkan oleh senat atau institusi politik tertinggi saat itu sebagai Caesar, Opticos atau Dominus (istilah yang setara dengan Raja atau Tuhan), yang ditandai dengan berdirinya kuil Pantheon untuk memuja kaisar pada tahun 27 M.[31]
Sejak semula, pengakuan kaisar sebagai raja atau Tuhan hanyalah sebuah gelar.  Tetapi setelah kematian Agustus, gelar ini memiliki arti baru sebagai langkah politik romawi.  Bagi pemerintah romawi, negara dan agama adalah satu-kesatuan.  Pada waktu itu, agama adalah alat politik untuk melanggengkan kekuasaan.  Agama merupakan sarana untuk menjamin kerjasama, kebajikan dan kedamaian di seluruh daerah kekuasaan kaisar.[32] Maka dari itu ritual pemujaan terhadap kaisar, tidak lain merupakan suatu bentuk loyalitas dan ketaatan rakyat untuk mendukung berjalannya roda pemerintahan romawi.  Jika didapati ada rakyat yang menentang atau menolak memuja kaisar.  Perbuatan itu dianggap sebagai bentuk pelanggaran hukum melawan pemerintah.  Segala bentuk pelanggaran yang berkaitan dengan hal itu akan dihukum dengan berat, yakni diasingkan atau hukuman mati.[33]
Agama roma dengan kebijakannya untuk melakukan ritual penyembahan terhadap kaisar, adalah tantangan terbesar bagi iman Kristen pada waktu itu.  Meskipun kebijakan tersebut lebih cenderung kepada kesetiaan politik dan bukan ibadah religius.  Gereja pada masa awal yang dikenal begitu militan dan radikal dalam iman, dengan tegas menolak memberi penghormatan “Tuhan” selain kepada Kristus.[34]  Oleh karena sikap gereja yang menolak kebijakan pemerintah dan tidak mau melakukan ritus agama Romawi, gereja mulai menjadi perhatian khusus pemerintah. 
Pemerintah romawi mulai curiga dengan aktivitas orang-orang Kristen karena dianggap begitu eksklusif dan supertitio.[35]  Kecurigaan itu muncul dikarenakan oleh tiga alasan: (1) Orang Kristen menolak segala bentuk kultus agama negara.  (2) Penolakan orang Kristen tersebut dianggap sebagai bentuk oposisi terhadap pemerintahan.  (3) Kecurigaan semakin kuat sebab orang Kristen mengaku mempunyai “raja dan kerajaan lain” yang patut disembah.[36]  Berdasarkan alasan diatas, sangat wajar apabila orang Kristen mula-mula menjadi sasaran fitnah atas terbakarnya kota Roma dan dianiaya dengan kejam oleh kaisar Nero. 

Tujuan Penulisan
Tujuan ditulisnya Kitab Wahyu disebabkan oleh dua pokok persoalan yang sedang dihadapi gereja di Asia pada waktu itu.  Persoalan yang pertama, gereja-gereja di Asia sebagai penerima surat, mengalami penderitaan karena penganiayaan yang dilakukan oleh pemerintah Romawi.  Kedua, adanya keyakinan dari orang-orang percaya pada waktu itu tentang akhir zaman yang diharapkan segera terjadi.[37] Dengan membaca Kitab Wahyu berdasarkan kedua pokok persoalan ini, maka akan didapati beberapa alasan utama dari tujuan penulisan kitab ini:
1.      Yohanes tengah menyampaikan visi ilahi kepada gereja tentang kekuasaan dan kedaulatan Allah atas sejarah dunia.  Melalui tulisannya Yohanes memberikan gambaran tentang suatu masa depan dimana pemerintahan Allah terus berkuasa atas dunia, sampai pada akhirnya menaklukan segala realitas kejahatan dan menggenapi janji-Nya bagi keselamatan orang-orang yang benar melalui Yesus Kristus.[38]
2.      Memberikan himbauan kepada jemaat agar hidup dalam bertobatan.  Pertobatan menjadi pesan yang cukup penting di dalam Kitab Wahyu oleh karena kata “metanoeo” ditulis hingga delapan kali.  Hal ini dimaksudkan, agar jemaat yang telah meninggalkan pengajaran para rasul dan hidup berkompromi dengan dosa, segera bertobat untuk menyongsong kedatangan Tuhan Yesus, yang diyakini akan segera terjadi.[39]
3.      Kitab ini dikirimkan kepada gereja guna meneguhkan iman di tengah-tengah penderitaan.[40] Mengingat penganiayaan yang dilakukan oleh Nero kepada orang-orang Kristen pada waktu itu.  Banyak diantara orang-orang Kristen yang harus mengalami berbagai macam penderitaan.  Maka dari itu, dengan adanya pesan Kitab Wahyu yang bersifat apokaliptis ini, dapat memberikan penghiburan dan harapan bagi pembacanya agar mengalihkan perhatian, dari malapetaka masa kini, kepada masa depan yang gemilang, yaitu memperoleh keselamatan kekal.
4.      Selain itu, pesan Yohanes kepada tujuh gereja merupakan sebuah petunjuk bahwa gereja telah dipanggil untuk terlibat dalam pertarungan eskatologis melawan kekuatan jahat.  Kitab Wahyu tidak menawarkan orang-orang Kristen sebuah pelarian dari penderitaan dan Penganiayaan dengan cara pengangkatan (pretribulation).[41] Gereja harus menghadapi pertarungan melawan kejahatan dan penderitaan itu sebagai tugas panggilan yang diberikan oleh Kristus.  Apabila gereja tetap taat dan setia menjalankan panggilannya, Tuhan telah memberi jaminan kemenangan total pada waktu Kristus datang kedua kalinya. 

Tema Surat

Para penafsir pada umumnya memberi tema kitab ini adalah “Wahyu Yesus Kristus” (1:1).  Dari kalimat ini saja terdapat dua pengertian yang muncul, “Wahyu Yesus Kristus” dapat diartikan wahyu dari Yesus Kristus sendiri, atau wahyu tentang Yesus Kristus yang ditulis oleh Yohanes.  Meskipun demikian, kedua pengertian ini tidak perlu diperdebatkan.  Sebab kedua pengertian ini sama-sama menjadikan Kristus sebagai fokus atau tokoh utama dalam kitab ini.[42]
Siapakah sejatinya Kristus menurut Kitab Wahyu? Kristus menurut Kitab Wahyu digambarkan sebagai Kristus yang telah menang.[43] Dari awal hingga akhir kitab ini, Yohanes mengambarkan suatu ide besar mengenai pertempuran sengit antara kejahatan dan kebaikan.  Kitab ini secara berulang-ulang mengambarkan konflik antara Allah dan Iblis, antara Anak Domba dan naga, jemaat dan dunia,  kota suci Yerusalem dan kota besar Babel, mempelai dan pelacur, orang-orang yang memiliki tanda nama Kristus di kening dan orang-orang yang memiliki tanda nama binatang (7:2-3; 13:17; 14:1; 16:2; 19:20 dan 22:4).  Konflik tersebut secara nyata memisahkan kedua pihak.  Pihak kejahatan yang diwakili oleh Iblis di dunia yang tercela, penuh penderitaan, dan pihak kebaikan yang diwakili oleh karya Kristus atas umat-Nya. 
Tetapi pertarungan tersebut akan selesai, karena pada akhirnya nanti, Kristus dan umat-Nya yang akan muncul sebagai pemenang dan mengalahkan semua kekuatan dan kuasa Iblis yang menentang-Nya.  Tema ini pun sangat relevan jika melihat situasi yang dialami oleh jemaat kala itu.  Ditengah-tengah penderitaan, penganiayaan dan kematian.  Berita tentang kemenangan Kristus mampu memberi penghiburan bagi jemaat untuk tetap bertahan dalam iman dan pengharapan akan janji Allah untuk kehidupan kekal serta penghakiman atas dunia yang jahat.


[1]David H. Van Daalen, Pedoman Ke Dalam Kitab Wahyu. Terj.  Stephen Suleeman (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1999), 8-9.

[2] Eka Darmaputera, Menyingkap Janji Tuhan: Pemahaman Kitab Wahyu Tentang Iman dan Pengharapan Ditengah Penganiayaan dan Penderitaan (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2012), 10-11. William Barclay, Pemahaman Alkitab Setiap Hari: Wahyu Kepada Yohanes Pasal 1-5. Terj. A. A. Yewangoe (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2001), 19-20.

[3]Ibid.

[4]Richard Bauckham, The New Testament Theology: The Theology Of The Book Of Revelation (Cambridge: University Press, 2003), 3.
[5]George Eldon Ladd,  A Commentary On The Revelation Of John (Grand Rapids, Michigan: Wm.  B.  Eerdmans Publishing, 1972), 7.

[6]Van Daalen., Ibid.

[7]Pliny, The Epistulae.. JV. H. Vol. IV., 23. 
[8]J. N. Sanders, “St John on Patmos”.  New Testament Studies/Volume 9/Issue 02/January (1963): 76-78.

[9]Robert H.  Mounce, The Book Of Revelation (Michigan, Grand Rapids: Wm.  B.  Eerdmans Publishing, 1998), 15-16.

[10]Tacitus, History., 1:2; 2:8; Suetonius, The Lives Of The Twelve Caesars: Nero., 57.  Larry Kreitzer, “Hadrian And The Nero Redivivus Myth,” New York University: Bobst Library Technical Authenticated (2000): 93.
[11]Jika membandingkan jumlah dokumen sejarah mengenai penyiksaan orang Kristen antara masa pemerintahan Nero dan masa pemerintahan Domitianus.  Justru lebih banyak sumber ditemukan pada masa pemerintahan Nero.  bahkan, seorang sejarawan yang bernama Tacitus dapat menceritakan secara rinci tentang salah satu bentuk kegilaan Nero yang menyiksa orang Kristen dengan diikat di tiang, disiram minyak dan dibakar dipinggir jalan-jalan Roma.  J. Christian Wilson, “The Problem of the Domitianic Date of Revelation,New Testament Studies/Volume 39/Issue 04/October (1993): 4.

[12]Menurut pendapat E. T. Merril, “pada masa Domitianus penganiayaan terhadap orang Kristen sangat sedikit dan kurang jelas”.  Domitianus melakukan penganiayaan terhadap orang Kristen hanya demi kepentingan aristokrasi Romawi atau untuk melanggengkan pemerintahannya saja (itu pun hanya kepada orang-orang Kristen terpandang, yang dicurigai memiliki pengaruh secara politik terhadap pemerintah).  Meskipun Domitianus menjuluki dirinya sebagai “dominus et deus noster” tuhan dan allah kami.  Domitianus tidak terlalu mendambakan dirinya agar disembah oleh rakyat atau melakukan perlawanan secara khusus terhadap orang-orang Kristen yang menolak untuk menyembah dia seperti Nero.  Justru pada masa pemerintahannya, keadaan provinsi-provinsi Romawi dalam suasana politik yang stabil dan mengalami kemajuan secara ekonomi. 
Meskipun tidak dapat disangkali, Domitianus juga melakukan kekerasan terhadap rakyat.  Domitianus tidak melakukan kekerasan hanya pada golongan tertentu, seperti orang Kristen.  tetapi kekerasan itu ditunjukan pada semua orang yang dicurigai sebagai ancaman atas keselamatan nyawanya sendiri.  Domitianus merasa perlu berbuat demikian, karena seumur hidupnya, ia selalu hidup dalam bayang-bayang tentang waktu dan cara kematiannya yang sudah dekat. 
Oleh karena selalu dibayangi dengan kematian, Domitianus memiliki ketakutan dan kekuatiran yang berlebihan.  Perilaku tersebut nampak dari keinginan-keinginannya yang cukup aneh, seperti: (1) galeri tempat dia berjalan harus dilapisi dengan batu yang dipoles, agar ia bisa melihat pantulan bayangan di belakang punggungnya; (2) tidak ada tahanan yang diperbolehkan membuat banding, kecuali ia memegang rantai mereka; (3) dia bahkan mengeksekusi mati sekretarisnya yang bernama Epafroditus karena dicurigai sebagai penyebab dari bunuh diri Nero; (4) Selain itu, Domitianus juga membunuh Flavia Domitilla, keponakan Flavius ​​Clemens sang konsul, tanpa alasan yang jelas.  Shirley Jackson Case, “Josephus Anticipation of a Domitianic Persecution, Journal of Biblical Literature,” Vol. 44, No. 1/2 (1925): 10-11; Albert A. Bell, Jr, “The Date Of John's Apocalypse: The Evidence Of Some Roman Historians Reconsidered,” New Testament Studies/Volume 25/Issue 01/October (1978): 95; Leonard Thompson, The Book of Revelation: Apocalypse and Empire (New York, Oxford: Oxford University, 1990), 95-167. 

[13]A. Bell., 93.

[14]The Year of the Four Emperors (Tahun empat kaisar) adalah suatu periode pergantian pemerintahan empat kaisar romawi yang terjadi dalam jangka waktu yang sangat pendek, yakni dalam jangka waktu 18 bulan.  Dimulai dengan bunuh diri Nero pada bulan Juni Tahun 68 M.  Kemudian digantikan oleh Galba, yang secara resmi Mendeklarasikan diri sebagai kaisar di bulan yang sama setelah kematian Nero, tetapi dibunuh pada tanggal 15 Januari Tahun 69 M.  Lalu digantikan oleh Otho, yang tidak lama kemudian dicopot jabatannya dan bunuh diri pada Tanggal 16 April.  Berdasarkan penelitian sejarah Penyebab Otho bunuh diri oleh karena telah terbukti melakukan kudeta serta pembunuhan terhadap Galba.  Tidak lama kemudian, jabatan Otho segara digantikan oleh Vitellius yang telah berjasa dalam meredam kudeta tersebut.  Namun pemerintahan Vitellius tidak bertahan lama, setelah ia menjadi kaisar hanya dalam beberapa bulan, ia dibunuh oleh pengikut VespAsianus dan langsung digantikan oleh VespAsianus itu sendiri pada bulan Desember Tahun 69 M.  Gwyn Morgan, 69 A.D.: The Year Of Four Emperors (New York: Oxford University Press, 2006), 1-3.

[15]Joseph L. Trafton, Reading Revelation: A Literary And Theological Commentary (Georgia, Macon: Smyth & Helwys Publishing, 2005), 6.
[16]Nestor Paulo Friedrich, “Adapt or Resist? A Socio-Political Reading of Revelation 2.18-29,” Journal for the Study of the New Testament 25:185 (2002): 189. 

[17]Simon J. Kristemaker, Tafsiran Kitab Wahyu (Surabaya: Momentum, 2014), 36, 39-40.
[18]J. I. Packer, Merril C. Tenney dan William White, Jr., Dunia Perjanjian Baru (Malang: Gandum Mas, 1993), 183.

[19]David A. De Silva, “The Social Setting Of The Revelation To John: Conflicts Within, Fears Without,” Westminster Theological Journal 54/273-302 (1992): 279.

[20]Lucetta Mowry, “Revelation 4-5 And Early Christian Liturgical Usage,” Journal Of Biblical Literature, Vol. 71/No. 2/Bulan Juni (1952): 82-84.

[21]G.  R. Beasley-Murray, “How Christian Is The Book Of Revelation?” Robert Banks, ed., Reconciliation And Hope: New Testament Essays On Atonement and Eschatology Presented to L.L. Morris on his 60th Birthday.  Carlisle: The Paternoster Press (1974): 276-278.
[22]Ibid.

[23]Richard Bauckham, The Climax Of Prophecy: Studies On The Book Of Revelation (Edinburg, Skotlandia: T&T Clark Ltd, 1993), 117-118.

[24]Yohanes Bambang Mulyono, Teologi Ketabahan: Ulasan Atas Kitab Wahyu Yohanes (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1993), 18. 
[25]Pribadi nero yang kejam sesungguhnya telah terbentuk dari figur orang tuanya.  Ayahnya, Gnaeus Domitius Ahenobarbus adalah seorang pejabat administrasi yang mempunyai reputasi dan perilaku buruk.  Dia terlibat sebagai kaki tangan Albucilla dalam kejahatan perzinahan dan pembunuhan, serta melakukan perkawinan sedarah dengan saudaranya sendiri.  Ibu Nero yang bernama Agrippina Minor atau Arippina Muda, adalah adik dari Kaisar Caligula.  ia cantik tetapi jahatnya luar biasa.  Ia dikenal sebagai seorang yang penuh dengan tipu muslihat dan licik, gemar akan kekuasaan dan serakah terhadap kedudukan.  Pernah memerintah untuk melakukan pembunuhan massal, dan menyiksa orang lain demi kesenangan.  Cassius Dio.  Roman History LXII., 14, 15-17; William Smith, "Ahenobarbus, Gnaeus Ahenobarbus" , dalam Dictionary of Greek and Roman Biography and Mythology, Vol. 1 (Boston: Little, Brown and Company, 1867), 86.

[26]Merril C. Tenney, Survei Perjanjian Baru (Malang: Gandum Mas, 1992), 8, 10-11.

[27]William Smith., Ibid.

[28]Dave Hagelberg, Tafsir Kitab Wahyu Dari Bahasa Yunani (Yogyakarta: Yayasan ANDI, 2013), 5.

[29]Tacitus, Annals XV., 44. 

[30]Donald L. Wasson, “Roman Religion,” Ancient History Encyclopedia, diakses 1 Juni 2017, http://www.ancient.eu/Roman_Religion/.

[31]Bread Mary, John North, dan Simon Price, Religions Of Rome: A History, Volume 1 (Cambrige: Cambridge University Press, 1998), 331-332.

[32]William Barclay, “Great Themes Of The New Testament,” The University Of Glasgow: The Ekspository Time/Revelation XIII: 259, 261. 

[33]Kistemaker., 38.
 
[34]Gary R. Habermas, The Historical Jesus: Ancient Evidence For The Life Of Christ (Missouri, Joplin: College Press, 1996), 197-200.

[35]Supertitio adalah Pengabdian dan antusiasme yang berlebihan dalam ketaatan religius, dalam arti melakukan atau mempercayai lebih dari pada yang diperlukan. Ibid., 199.

[36]Y. B. Mulyono., 16.
[37]Willi Marxsen, Pengantar Perjanjian Baru: Pendekatan Kristis Terhadap Masalah-Masalahnya. Terj. Stephen Suleeman (Jakarta: BPK gunung Mulia, 2009), 340.

[38]Bauckham., 9.

[39]Fred B. Craddock, “Preaching The Book Of Revelation: Interpretation,” Emory University: New Testament Candler School of Theology (2015): 273.

[40]David Imam Santoso, Membaca Dan Memahami Kitab Wahyu: Pesan Kristus Kepada Gereja-Nya (Malang: literatur SAAT, 2006), 19. 

[41]Craddock., 272. 

[42]Tenney., 283-484.

[43]Leon Morris, Teologi Perjanjian Baru (Malang: Gandum Mas, 1996), 410.